JESIM

2.9K 226 8
                                    


Alfi pov

Aku masih sedikit tak paham dengan situasi yang kini mengelilingiku.
Mulai dari kecelakaan yang membuat kaki patah, jujur aku tak sepenuhnya mengingat semua kejadian itu.
Lalu ibuku yang marah marah tak jelas saat kutelepon.
Kabar hubunganku dan Bagas yang seperti tak ada harapan lagi. Terakhir, setelah aku diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit ini. Aku tak punya tujuan mau kemana. Tak mungkin pulang ke Surabaya secara mendadak, mengingat kondisiku saat ini yang masih gagap berjalan.

Dibawah naungan perasaan galau ku yang tak jelas. Aku masih sadar, bahwa ada geliat tak enak yang muncul di hatiku saat menatap Bang Izan.

Tiap dia menginap di Rumah Sakit saat malam, secara terang terangan aku meminta tangannya untuk ku jadikan bantal. Sedikit nostalgia dengan adegan favoritku saat bersama Bagas dulu.

Apalagi malam itu hujan turun dengan derasnya. Membuat ruang paviliun itu seolah mendapat sihir dahsyat, sehingga aku dan Bang Izan berhasil mendramatisir keadaan.

"Aku maunya dipanggil abang" ucap Bang Izan, kala itu kesadaranku tinggal 10% setelah meminum obat obatku.

"Iya abang." hanya itu jawabanku sambil mengendus harum di lengannya.

"Abang, aku mau dicium" pintaku tak jelas. Ingat, aku dikuasai obat. Mungkin saat itu otakku menyangka bahwa aku bersama Bagas.

Tak kudengar lagi suara Bang Izan. Tapi kurasakan ada benda lembab yang mendarat dikeningku cukup lama. Itu adalah bibirnya.

Disaat pagi datang, seperti biasa. Aku selalu mendapati lelaki itu alias Bang Izan masih tertidur pulas.
'Maaf abang, aku menyita waktu tidurmu' ucapku kalut.

Hatiku terus menerka nerka. Sebenarnya apa yang dia pikirkan. Kenapa dia selalu ikhlas memberikan kecupan untukku tiap malam??

Jujur, saat ini tak ada lagi pikiran jelek seperti saat pertama kali melihat tentara macam Yogi, pacarnya Pelvita.

Waktu berjalan cepat. Bang Izan bangun. Orang orang penting macam Papa Mama dan Jenni sudah berdiri dihadapanku.

"Tinggal dirumah mama aja ya" Pinta mama padaku. Mama yang kumaksud adalah Indah, dan Papa yang kumasud adalah Haris.

Aku bingun. Di pagi buta seperti ini, aku sudah di vonis boleh pulang.

"Jenn, aku nginep di apartemen kamu ya" pintaku yang tak enak terlalu merepotkan Mama lebih lagi.

"Alfi, aku harus pulang ke Surabaya. Rumah Sakit ayahku kekurangan tenaga medis. Aku titip kunci apartemen ke kamu ya. Kamu boleh gunain apartemennya sesuka yang kamu mau" Jenni meletakkan sebuah kunci ditanganku.

Aku berusaha mandiri dengan sisa tabungan yang kumiliki. Toh aku tak perlu bayar sewa lagi.

"Tidak Ma, aku tinggal di apartemen Jenni aja" tolakku.

"Sendirian? No ! Gak bisa. Kakimu aja belum bener kalau buat jalan." memang ada benarnya juga. Hanya saja aku keukeuh.
Tapi mama lebih keukeuh dari aku. Sehingga kemudian kami berkemas untuk menuju ke Rumah Mama.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 menit. Aku telah sampai di Rumah yang lebih pantas disebut Istana karena saking gedhe dan luasnya.

Kami semua berjalan memasuki rumah itu. Koperku dibawakan oleh Mbok Ikem, ART mama dari jaman bang Gio masih bayi.

"Uayu tenan rek, buk e jebul ra goroh"

kudengar mbok Ikem berceloteh saat pertama kali melihatku.
Artinya 'beneran cantik rek, ternyata ibuk gak bohong'
Entah apa maksudnya. Mungkin mama sudah menceritakan tentangku ke orang penjuru rumah.

LUCKY GIRL~(PRIVATE ACAK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang