6 - Voices

415 38 0
                                    

"Wah, Lavatera mirip sekali dengan Mamanya." Suara Darius samar-samar terdengar.

Mama? Mama kandungku seperti apa?

"Kenapa kamu mirip sekali dengan perempuan itu?" Seorang wanita tengah baya bertanya kepada Ava. Ia duduk di kursi besar dalam pondok kayu rumahnya, menatap Ava dengan tatapan sinis. "Kamu tahu perempuan itu merusak seluruh keluargaku? Kini semua menganggap aku gila, hah!" lanjutnya. Wanita itu memiliki hidung mancung seperti Ben, dan bibir yang tipis. Lipstik merahnya terlihat mencolok dengan baju dan rambutnya yang serba hitam.

Ava mulai menangis, antara takut kepada wanita ini dan juga merasakan malu karena terlahir sebagai anak haram Papanya. "Oh, jangan nangis... It's ok..." Wanita itu membelai rambut Ava, membuat bulu kuduk Ava di leher berdiri. Ia tersenyum pada Ava, "Berkat kamu, dia sudah tiada."

***

Ava merasakan tangisnya semakin kencang. Dadanya begitu sesak, seakan saluran jantungnya terlalu kecil untuk semua beban yang akhirnya keluar bersamaan dalam satu waktu lewat air matanya.

"It's ok..." suara wanita itu terngiang.

"It's ok... I am here, Ava," suara Ben. Ini suara Ben.

Ava membuka matanya perlahan. Itu semua mimpi?

Isak tangis Ava perlahan menghilang. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama ia merasakan sedikit oksigen di dadanya. Namun matanya terasa begitu berat dan lengket. Ia melihat sekelilingnya. Di mana dia? Rumah sakit?

"Gue di mana, Ben?" tanya Ava.

"Rumah sakit. Lo pingsan semalam."

"Semalam?"

Lalu ingatannya mengenai hari buruknya kemarin muncul kembali. Terlambat, Gerry, dihukum lari, Klub Teater, Ellen, McKee Wannabe, kehujanan, Gerry, makan malam, Om Darius, Ger...

Pintu kamar Ava dibuka. Gerry masuk dengan tangan penuh sarapan dan kopi. Ia menatapnya sebentar, lalu beralih pada Ben.

"Kak, nih aku bawain roti sama kopi. Buburnya nggak jual," katanya.

"Thanks, Ger. Makasih ya udah gantiin gue jaga malam."

Jaga malam??? Ava melotot.

"No probs," jawab Gerry, tidak berani melirik ke Ava. "Toh aku juga cuma nemenin Om Harianto," lanjutnya.

Diam-diam Ava merasa lega. Jadi tidak hanya mereka berdua di kamar ini semalam.

Ben tersenyum melihat reaksi adiknya. Ia tahu benar apa artinya desahan napas lega yang terdengar agak kencang itu.

"Jadi kamu hari ini tetap masuk, Ger?" tanya Ben.

Gerry mengangguk.

"Cuma udah ijin bakal agak telat,"

"Oh, jadi kalo Ketua OSIS yang telat nggak apa-apa ya?" Ava mendengar dirinya sendiri berbicara sinis, yang langsung disesalinya.

You're so unbelievable, Lavatera. Bravo. Nggak tahu dirinya lo tingkat dewa, ujar Ava dalam hati.

"Sorry Ger, dia suka nggak mikir dulu sebelum ngomong," Ben meminta maaf atas perkataan adiknya.

Gerry hanya tersenyum sekilas dan membereskan tas dan barang-barangnya.

"Hahaha, emangnya monyet apa kak, makan dulu sebelum mikir itu pisang kapan," kata Gerry.

Kedua alis Ava hampir menyatu. What is that supposed to mean? Jadi lo samain gue sama monyet?

Lavatera [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang