Di gudang itu, seorang gadis kecil sedang bermain dengan mainan barunya: kereta panjang beserta relnya yang sudah disusun sedemikian rupa oleh salah satu asisten rumah tangganya. Wajah gadis itu terkagum-kagum melihat kereta yang bisa berjalan sendiri di rel yang panjang dan meliuk-liuk. Ia tak sabar untuk menunjukkannya kepada teman bermainnya.
Dari kejauhan, ia tiba-tiba mendengar langkah seseorang mendekati gudang, tempat ia bermain. Dengan gembira, ia kemudian berlari ke arah pintu yang terbuka, tidak sabar untuk melihat ekspresi temannya saat melihat kereta ini.
"Gerry? Ger? Ger..."
Bam! Klik.
Si gadis kecil terdiam menatap pintu gudang yang ditutup dan dikunci. Dengan panik, ia berlari dan menggedor pintu itu.
"Gerr? Gerry? Gerry, buka pintunya! Aku takut... Ger, buka! Ger!" Ia berteriak. Gadis mungil itu kemudian berlari ke jendela yang tertutup, ia bisa melihat seorang anak laki-laki terdiam di sana. Tersenyum. Lalu meninggalkannya sendiri.
***
Ava masih memikirkan mimpi buruknya semalam, atau apakah itu sebenarnya memori lama yang pelan-pelan hadir? Apapun itu, ia masih merinding jika mengingat sepasang mata nanar anak kecil yang menguncinya di gudang. Mengapa ada beberapa versi mimpi mengenai ceritanya dikunci di gudang? Jadi siapa yang menguncinya di gudang saat itu? Kenapa itu terasa sangat traumatis baginya?
"Ter, tera!" Rea membangunkan lamunannya.
"Eh?" Ava akhirnya melihat ke arah Rea dan Bima yang ada di sampingnya.
"Jadi lo kemarin itu ke mana? Kok pulang dari Lembang nggak bareng kita?" tanya Rea.
"Oh.. gue dijemput soalnya bokap sakit."
Dan itu tidak bohong. Sekretaris Harianto mengirimkan mobil beserta bodyguard untuk menjemputnya di Lembang. Kata sekretarisnya, Papa Ava sakit.
Mungkin Ava memang membenci papanya, tapi begitu mendengar Papanya dirawat di Rumah Sakit, ia terus merasa khawatir di sepanjang perjalanan.
"Terus gimana keadaannya, Ter?" tanya Bima.
"Masih lemas, tapi sudah sadar, Bim."
"Sakit apa?"
Benar juga, sakit apa? Sekretarisnya hanya bilang Papanya terlalu capek sehingga ia pingsan di kantor.
"Cuma kecapekan, kok."
"Cepet sembuh ya, buat bokap lo, Ter." Rea berkata sambil meremas tangan Ava pelan.
"Thanks." Ava tersenyum. Lalu matanya menangkap seseorang sedang berlari kencang ke arah mereka.
"GUYS! Hhhhh... Inih... Hhhh... Berita... hhhh... Besahh..." Ellen terengah-engah.
"Kenapa sih, Len?" tanya Rea. "Pelan-pelan dulu, minum dulu." Rea menyodorkan es teh manisnya yang langsung diteguk oleh Ellen.
"Kalian HP cuma dibuat foto yah? Nggak baca whatsapp group? Cepet baca!" Ellen setengah berteriak.
"HP gue di loker," jawab Ava.
"Sama." Bima tersenyum pada Ava. Call them old fashion, tapi mereka sama-sama orang yang lebih memilih quality time dengan interaksi langsung daripada harus melihat ke handphone setiap saat.
Ketika membalas senyum Bima, Ava baru teringat. Ia harus bilang kepada Bima mengenai Gerry. Ia tak bisa membiarkan Bima menunggu jawabannya seperti ini.
"Bim, ntar pulang sekolah gue ke cafe lo ya?" bisik Ava.
"Boleh, emang kenap..."
"WHAT?!" Rea berteriak, mengagetkan mereka semua, orang-orang di sekitar kami pun menoleh, mengerutkan dahi, dan kembali ke makan siang mereka. Tampaknya Rea dan teman-temannya bukan objek yang cukup menarik untuk menjadi perhatian lebih lanjut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lavatera [completed]
Novela JuvenilKehidupan Lavatera tidak pernah sama dengan remaja lainnya. Meski ia cantik luar biasa, emosi dan karakternya yang kompleks tidak pernah cocok untuk berteman, menjadi pemimpin grup, ataupun menjadi pacar seseorang. Tekadnya untuk hidup sendiri seum...