"There is no way he's coming with me. Aku sudah ditemani Sinta, Pa!" protes Ava saat melihat Gerry ada di rombongan mereka tengah malam itu di lounge bisnis maskapai.
Hari sudah makin malam, Ava capek setengah mati karena langsung berangkat dari festival sekolah dan ia terpaksa book pesawat terakhir ke Singapore malam ini juga karena besok pagi wawancara akan dimulai.
Karena asisten pribadi dari keluarga mereka sedang tidak bisa ikut menemani Ava ke Singapore, Ava lebih memilih untuk mengajak Sinta daripada harus menurut titah papanya yang ingin Gerry turut serta. Ia tidak menyangka papanya kekeuh terhadap keputusannya sampai punya waktu untuk datang ke bandara hanya untuk memastikan hal ini.
"Terserah kamu, Gerry ikut atau tidak ikut acara sama sekali. Your choice," ujar Papanya sambil meninggalkan mereka dengan beberapa bodyguardnya.
"Eerrrgghhh!!!" Ava mengacak-acak rambutnya jengkel. Kini dengan ia telah melepas kacamata dan membersihkan segala makeup samarannya, Ava sadar tidak bisa membuat drama lebih besar lagi jika tidak ingin menarik perhatian.
Ava melirik Gerry yang masih mengenakan kostum Peter Pan-nya, sedang memainkan game di ponselnya, tidak peduli akan sekitarnya.
Sementara itu Sinta sudah tertunduk-tunduk karena mengantuk di dekat mereka. Bagaimana tidak, kini hampir tengah malam di bandara Soekarno Hatta, dan pesawat belum juga datang dari Singapore.
"Kenapa nggak pakai pesawat bokap lo sih?" tanya Gerry tanpa meninggalkan konsentrasinya dari game ponselnya.
"Heboh banget buat acara beginian aja," jawab Ava asal, menyerah atas pemberontakannya dan menghempaskan diri ke sofa.
Entah mengapa hari ini ia enggan berbicara dengan Gerry. Tapi bibirnya gatal ingin menanyakan kebenaran pengakuan Nina yang bilang kalau ciuman pertamanya diambil oleh teman kecilnya. Apakah itu... dirinya? Ava terlalu gengsi untuk bertanya karena ada kemungkinan itu bukan dia, tapi kalau benar... Omaigaaatt... Selama ini Ava enggan menerima tawaran film memiliki adegan ciuman di dalamnya karena ia ingin hal itu menjadi spesial. Tapi kalau benar itu dia...
Tak sadar, Ava menjambak rambut tebalnya dan mengacaknya kembali, namun tak ada yang peduli dengannya. Pandangan Gerry masih tidak berpindah dari layar ponselnya dan Sinta sudah terlelap.
***
"Siapa namamu?" tanya anak laki-laki asing itu. Ava masih meringkuk kedinginan di gudang, perutnya terasa sakit karena kelaparan. Ia tidak diperbolehkan Mama untuk berbicara dengan orang asing, jadi ia hanya bisa menatap anak laki-laki dengan rambut ikal hitam itu.
Hari itu Ava dihukum lagi oleh Mama, entah mengapa Mama begitu membencinya, Ava bahkan tak tahu apa salahnya. Apa karena ia memeluk papanya hari ini? Apa karena ia memakan cokelat mahal milik Ben tadi sore? Sesungguhnya ia ingin tahu apa kesalahannya agar ia bisa minta maaf dan janji tidak mengulanginya, seperti yang Ben pernah ajarkan kepadanya bagaimana cara agar Mama tidak marah lagi kepadanya.
Tiba-tiba perut Ava bunyi, memecah keheningan di gudang yang gelap itu.
"Kamu lapar yah?" tanya anak itu lagi. Ava mengangguk pelan. Kemudian anak itu pergi ke rumah utama dan tiba-tiba kembali membawa roti hangat buatan Chef bakery keluarga Ava. "Nih, makan dulu," ucapnya.
"Lavatera! Oh di sini kamu rupanya. Kenapa tidak ikut ke ballroom? Jangan suka main sendirian di sini, Lavatera," Mama tiba-tiba datang dan berkata dengan sangat manis kepadanya. Ava sungguh bingung, tadi Mama jelas-jelas memintanya untuk ke gudang sendiri dan sekarang Mama bertanya mengapa ia di sini, apalagi Mama bersikap sangat aneh di depan anak kecil ini. Siapa sih dia ini?
"Dia siapa, Tante?" tanya anak kecil itu kepada Mama.
"Adik Ben, Lavatera."
"Hai Lava, aku Gerry. Nih, kamu makan dulu."
Mama mengambil roti itu dari Ava.
"Kamu minta Gerry buat ambil roti ini?" tanya Mama, ada nada marah yang membuat bulu kuduk Ava berdiri. Ia mulai menangis.
"Enggak, Ma. Bukan Ava. Bukan Ava, Ma..." ujarnya dalam tangis. Ia benci jika mamanya marah, ia benci gudang ini, ia tidak suka bau usang dari gudang ini... Ia tidak ingin berada di sini...
Ava terbangun dari tidurnya dalam tangis. Bulu kuduknya masih berdiri mengingat wajah mama tirinya yang terlihat marah. Butir keringat dingin meluncur dari dahinya, menyatu dengan air mata di pipinya.
"Ssst... It's okay, it's going to be alright," bisik Gerry yang entah sejak kapan sudah ada di samping tempat duduknya di pesawat. Ia memeluk Ava dan mencoba menenangkannya dengan mengusap punggung Ava.
It felt good, but also wrong. Dalam pikirannya Ava ingin berteriak dan menjauh dari Gerry, namun energinya terasa habis dan ia diam-diam menikmati perhatian kecil itu dan ia butuh pelukan hangat ini, sebentar saja.
Boleh kita diam seperti ini dulu sebentar, Ger?
***
Lampu pesawat dihidupkan dan pemberitahuan bahwa mereka telah sampai di Changi Airport membangunkan Ava dan Gerry yang tertidur berdampingan dalam satu selimut. Menyadari kedekatan mereka ini, Ava dan Gerry sama-sama menjauh dengan cepat, namun kalah cepat dengan senyum Sinta yang menggoda mereka dari kursi depan.
"What?" tanya Ava melotot judes pada Sinta--yang cuma senyum penuh arti dan kembali menghadap depan.
"Gue balik ke kursi gue dulu," ujar Gerry canggung sambil jalan kaku ke belakang kursi Ava.
Untungnya hanya mereka yang ada di business class penerbangan malam itu, jika tidak, foto mereka tidur berdampingan akan berada di kolom gosip saat itu juga. Tapi jika dipikir lagi, sepertinya hanya mereka bertiga yang ada di pesawat Singapore Airlines malam ini. Ava sejenak berpikir namun akhirnya menaikkan bahu, mungkin keberuntungan akhirnya berpihak padanya setelah sederet ketidakberuntungan dialaminya malam ini.
Mimpi buruk yang baru saja ia alami kembali melintas di pikirannya, saat ini mimpi itu terasa seperti memori lama yang pelan-pelan kembali diingatnya. Melihat bagaimana ia mengingat tampang Gerry kecil yang tengil, sepertinya Gerry memang benar teman kecilnya. Perasaannya jadi tidak enak mengingat bagaimana ia memperlakukan Gerry dengan tidak pantas akhir-akhir ini. Mungkin ia memang benar teman yang baik, perhatiannya selama ini mungkin karena mereka berteman sejak kecil, bukan karena Gerry memiliki perasaan khusus dengannya atau mendukung pertunangan yang diatur papanya.
Ava merasa bodoh dan malu karena berpikir yang tidak-tidak tentang Gerry. Ia bahkan sudah bersedia untuk menemaninya hari ini meski ia harus ijin tidak masuk sekolah, sementara ia tampak seperti anak yang sangat patuh pada peraturan. Well, mungkin ia akan mentraktirnya nanti setelah jadwalnya selesai hari ini sebagai permintaan maafnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavatera [completed]
Novela JuvenilKehidupan Lavatera tidak pernah sama dengan remaja lainnya. Meski ia cantik luar biasa, emosi dan karakternya yang kompleks tidak pernah cocok untuk berteman, menjadi pemimpin grup, ataupun menjadi pacar seseorang. Tekadnya untuk hidup sendiri seum...