22 - Sweet Darkness

137 16 5
                                    

"No, modulation harusnya ada di reff yang kedua. Saya sudah bilang kan di Whatsapp minggu lalu?" Ava terlihat jengkel dengan Sound Engineer baru TF.

Ia sedang mengerjakan demo lagu baru yang harus segera diselesaikan sebelum ujian sekolah mulai, karena pada saat itu ia tak akan ada waktu untuk bolak balik Singapura - Jakarta.

Sudah hampir seharian Ava bersarang di studio TF yang ada di head office (HO). Anggota lainnya sedang on vacation bertemu keluarga masing-masing setelah wawancara dengan TV tadi pagi, namun Ava rencana baru akan terbang kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan draft pertama lagu TF yang rencana rilis tahun depan.

"Ava, menurut saya, modulation yang di reff dua ini nggak perlu deh," Marcell, si Engineer baru memberi opini.
"Terus?"
"Lebih ok kalau dikasih bridge aja untuk transisinya, karena itu low key banget mulainya, bisa dikasih reverberation mungkin, mengiringi bridge tersebut."
"Ya, tapi kan kamu bikin key nya sama di keseluruhan lagu, Marcell. Kalau nggak ada warna, lagunya akan jadi membosankan. I can sleep with this song, and the song is not even a balad!"

Marcell terlihat tak kalah jengkel. Sudah hampir sejam mereka memperdebatkan hal yang sama, dan mereka sudah di studio selama hampir 10 jam meributkan setiap bagian dari lagu.

Ava merasa lelah, namun belum puas dengan lagunya. Ia melirik Marcell yang bolak-balik melihat arloji mahalnya, sepertinya ia sedang ditunggu seseorang. Menurut Ava, berdiskusi dengan orang yang sedang memikirkan hal yang lain sungguh tidak efektif dan tidak dapat memberikan solusi yang maksimal.

"Kita lanjutin via teks aja dulu ya. Saya beresin dikit di sini. Kamu balik aja," ujar Ava sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di studio.

Marcell bergeming, merasa nggak enak.

"What?" tanya Ava. "Nggak mau?"
"Mau. Sorry ya, saya harus pulang untuk ulang tahun Mama saya. Tahu kan, Moms suka cerewet kalo anaknya nggak datang di acara ultahnya."

Nggak, gue nggak pernah tahu rasanya.

Melihat Ava yang masih terdiam, dengan gugup Marcell mengambil jaket dan kunci mobilnya.

"Bisa nutup studionya kan nanti? Kode pintunya tahu kan?"
"Udah, pergi aja!"
"Thanks."

Ava merebahkan kepalanya sebentar, kepalanya berdenyut-denyut. Jarang-jarang ia mengekspos otaknya seperti ini.

Sebuah sandwich yang tiba-tiba diletakkan di hadapan Ava mengagetkannya.

Gerry, yang berdiri hanya untuk memberikan sandwich, kembali lagi berbaring di sofa empuk di pojok ruangan.

"Sejak kapan lo ada di sana?" tanya Ava.
"Jangan GR, gue cuma diberi amanat sama bokap lo buat jadi manager lo. Mau nggak mau lah gue ngekor lo ke mana-mana."
"Gue nggak butuh manager."
"Bodo. Jangan pikir gue nggak dibayar ya sama bokap lo. Bos gue bokap lo, bukan lo."
"Mana ada cara kerja manager kayak gitu? Di mana-mana manager itu..."

JEGLAK! Semua lampu tiba-tiba mati.

"AAAAAARGH!" Ava berteriak histeris mencari ponselnya di sekitar Digital Audio Workstation.

Nihil.

Tenang, Ava. Tenang... bisik Ava dalam hati. Namun denyut jantungnya berkata lain, frekuensi detaknya menjadi berkali lipat lebih cepat.

Ava sudah berada di titik paniknya. Ia meraba-raba sekitarnya sambil tidak henti-hentinya berusaha menenangkan pikirannya yang kalut. Semenjak kejadian gudang itu, ia kini sungguh takut akan kegelapan.

Lavatera [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang