"Jadi lo kemarin 2 hari ijin ke mana aja Neng? Telepon nggak diangkat, LINE ga dibales..." omel Ellen pagi-pagi, sesaat sebelum bel sekolah berbunyi.
"Susah sinyal," jawab Ava singkat. Ellen menghela napas mendengar jawaban singkat dari teman sebangkunya.
"Tau nggak sih, Bima nyariin elo udah kayak apa 2 hari ini, kita ngirain lo sakit dan karena kita beranggapan lo tinggal sendiri, dia sampe mau jadi Spiderman nekat naik ke lantai 11 lewat jendela, karena nggak dibolehin masuk sama satpam."
"Sssst.. Kelas mau mulai," potong Ava.
Ava mengakui, ada sesuatu tentang Bima yang selalu dapat membuatnya tenang. Bersamanya, Ava lebih terbuka dan menjadi dirinya sendiri. Ia bisa menangis, bernyanyi ataupun mencurahkan hatinya tanpa berpikir.
Tapi itu gawat! Jika hal itu diteruskan, identitasnya pun akan terbongkar dengan cepat. Ia memutuskan harus menghindari Bima dan membuat batas yang jelas di antara hubungan mereka.
***
Namun Bima tidak membuatnya mudah. Seperti makan siang hari ini, ia bahkan telah menunggu Ava di depan kelas dengan kertas roti coklat di tangan kanannya, dan ukelele di tangan kirinya. Ia tersenyum melihat Ava dan Ellen yang hendak keluar kelas, sepertinya tidak menghiraukan beberapa mata cewek lain yang melirik penampilan barunya.
"Wih, tumben lo jam segini udah di depan kelas kita sambil bawa roti Pak Pung. Makasi yaaa Bimaa..." goda Ellen sambil pura-pura mengambil roti hangat yang terkenal murah dan enak. Toko roti ini pun semakin ramai karena berada di samping SMA Beringin dan memiliki tempat nongkrong yang biasanya didominasi oleh para murid.
"Nih buat kamu, sebelum minum obat," ujar Bima sambil mendorong tangannya memberikan roti itu kepada Ava.
Sambil menguatkan hatinya, Ava berusaha tidak menghiraukannya dan terus berjalan menuju kantin.
Tak tega melihat wajah Bima yang kecewa, Ellen mengambil roti itu dan memakannya.
"Henak huga mahih pahnas (Enak juga masih panas)," gumam Ellen dengan mulut penuhnya. "Lo lompat pager ya buat beli Pak Pung jam segini?" lanjut Ellen sambil mengikuti Ava di depannya.
"Ah elu, itu kan buat Tera..."
"Tera nggak sakit! Udah jangan khawatir!" potong Ellen kemudian memakan roti Pak Pung lagi.Ava melihat celah untuk memisahkan diri dari mereka, namun ketika ia mempercepat langkahnya, kacamatanya tertabrak tubuh seseorang.
Ketika ingin mengumpat karena tabrakannya cukup keras, Ava mengangkat kepalanya dan melihat Gerry. Wajahnya tidak tersenyum seperti saat ia bersama orang lain, dan matanya tertuju pada kacamatanya..
Yang retak.
"Lo mau umumin ke orang-orang kalo lo superstar terkenal ya?" bisik Gerry, tidak senang.
"Lah, siapa yang nubruk?" tantang Ava.
"Jelas-jelas gue diem daritadi di sini. Lo yang tiba-tiba lari ke sini."Ava melirik ke samping yang merupakan Ruang OSIS. Sepertinya memang ia yang tadi terburu-buru dan menabraknya.
Ava berdeham kecil.
"Sorry," ujar Ava pelan dan segera berbalik badan ingin berlari ke arah yang berlawanan. Namun Gerry buru-buru berpindah tempat menutup jalannya. "Apa lagi?" tanya Ava mulai jengkel.
"Lo nggak ngeh ya? Kacamata lo rusak! Lo mau ke kantin dengan penampilan gitu?" hardik Gerry, ikut-ikutan jengkel.Sementara hati Ava mulai bertingkah karena jarak mereka terlalu dekat, ia tidak bisa berpikir sedikit pun. Ava mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengintip ke balik punggung Gerry, takut jika Bima dan Ellen melihatnya dengan kacamata rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavatera [completed]
Teen FictionKehidupan Lavatera tidak pernah sama dengan remaja lainnya. Meski ia cantik luar biasa, emosi dan karakternya yang kompleks tidak pernah cocok untuk berteman, menjadi pemimpin grup, ataupun menjadi pacar seseorang. Tekadnya untuk hidup sendiri seum...