2. Bubble Girl

733 54 0
                                    

Bangunan berlantai 4 itu mengintip dari balik pepohonan rindang tua yang ada di halaman sekolah. Di tengah bangunan, lapangan sepak bola dan basket menjadi satu sehingga tampak penuh dengan siswa yang bermain bola meski hari masih pagi. Semua orang terlihat ramah, bahkan satpam sekolah pun menyapa Ava dengan simpatik, menanyakan apakah Ava siswi baru di SMA Beringin. Tampaknya, Pak Ogah, satpam sekolah ini hafal dengan semua siswa di sana.

"Neng, siswi baru?" tanya Pak Ogah. Ava mengangguk. Pak Ogah meneliti wajah Ava dengan seksama hingga Ava merasa agak jengah. "Kayaknya saya pernah lihat Neng, di mana yah?" tanya Pak Ogah lagi. Mata Ava sedikit menyipit. Jangan sampai identitasnya terbongkar karena Sinta tidak becus membuatnya terlihat beda, begitu pikirnya.

"Perasaan Bapak mungkin. Boleh saya tahu di mana ruang Kepala Sekolah?" tanya Ava seraya berusaha menyesuaikan aksen bahasanya kembali. Untung Ben, kakak tirinya, masih bersikukuh untuk berkomunikasi dengannya menggunakan Bahasa Indonesia ketika mereka sama-sama berada di luar negeri selama lebih dari 10 tahun. Setidaknya mereka masih mempertahankan aksen Indonesia mereka.

"Oh boleh neng, boleh... Mangga atuh..." ujar Pak Ogah sambil menunjukkan jalan ke ruang kepala sekolah.

***

"Nama saya Lavatera, tetapi semua orang memanggil saya Tera. Saya pindahan dari SMA swasta khusus wanita."

Tak ada satupun yang memperhatikannya selama perkenalannya tadi. Melihat itu, Ava untuk pertama kalinya tersenyum simpul. Sepertinya Ava akan menyukai ketidakpedulian siswa-siswi SMA ini. Semakin mereka tidak menganggap Ava itu ada, semakin lancar ia akan menyelesaikan studinya. Semakin cepat ia menyelesaikan studinya, semakin cepat pula ia bisa kembali ke Kanada. Ini adalah salah satu syarat Papanya sebelum membolehkan dirinya kembali ke Kanada dan melanjutkan karir bersama grupnya.

Yang Ava pelajari selama sekolah khusus cewek di Branksome Hall selama delapan tahun sebelum akhirnya ia homeschooling, mencari teman sebangku ialah hal yang krusial. Salah pilih sedikit, kita akan terjebak dengan orang yang sama selama bertahun-tahun. Dan kali ini, Ava terpaksa duduk di sebelah cewek berambut kuncir dua yang terlihat ramah luar biasa dan seperti baru saja meminum dua botol minuman berenergi. Mata cewek ini berbinar melihat Ava, seolah ia telah menunggu untuk memiliki sahabat sejak lama dan kini akhirnya menemukannya. Ava memutar bola matanya saat mengetahui bangku itu adalah satu-satunya yang tersisa di kelas.

"Haiiiii! Gua Ellen. Nice to meet you! Lo pindahan dari mana? Tinggal di mana?" tanya si kuncir dua bertubi-tubi, bahkan sebelum Ava duduk. Ava tidak melirik ataupun membalasnya. Ia hanya duduk diam di sebelah Ellen dan memperhatikan ke pelajaran yang sudah berlangsung. Meski tidak dihiraukan oleh Ava, Ellen masih tersenyum riang dan memperhatikan wajah Ava. Ia merasa dirinya dan Ava memiliki begitu banyak kesamaan: tidak populer, pintar, dan sangat menyukai buku--semua itu Ellen nilai hanya dari besar kacamata silinder yang dipakai Ava.

Ava memutar bola matanya lagi.

***

Hampir di semua sekolah yang Ava temui di Kanada, status sosial di sekolah dibagi berdasarkan kepopuleran. Dari kepopuleran, mereka akan dibagi lagi menjadi populer yang baik atau populer yang jelek--tentu saja di sini Ava termasuk di kategori populer yang jelek. Kasta mereka juga dinilai dari keikutsertaan mereka dalam ekstrakurikuler sekolah: tentu saja olahraga berada di urutan tertinggi, diikuti dengan ekstrakurikuler cheerleader, modern dance dan sejenisnya yang melibatkan cewek-cewek seksi nan menarik. Urutan ketiga teratas ditutup oleh grup yang mengikuti ekstrakurikuler student council--kebanyakan diikuti oleh anak-anak pejabat yang merasa derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Sisanya? Hanyalah common people.

Lavatera [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang