32 - If Only

94 10 0
                                    

Kata "andaikan" terkadang membuat hidup seseorang bagai terjebak di tengah-tengah jembatan gantung. Ingin maju tidak sanggup, mundur pun sudah terlambat. Membuat kita berpikir, andaikan kita memilih jalan lain, apakah akan berbeda?

Kata "andaikan" sering dipikirkan oleh Ava sejak kecil. Andaikan ia tidak dipertahankan oleh Mamanya, andaikan mama tirinya tidak membencinya, atau andaikan ia tidak setuju ketika Papanya memaksanya untuk pulang ke Indonesia.

Sedangkan kini, di bawah bulan yang sedang menunjukkan seluruh sinarnya, ia berpikir, bagaimana jika andaikan malam itu ia menolak untuk dicium oleh Gerry.

***
Seminggu sebelum malam itu...

Ketika bel berdering, semua murid SMA Beringin seolah-olah ditumpah di lapangan pada saat yang sama. Suasana hening ketika ujian seketika berubah ramai seperti Pasar Tanah Abang di kala akhir pekan.

Bukannya risih dan ingin menyendiri seperti Ava biasanya, untuk pertama kalinya ia merasakan eurofia itu. Euforia setelah ujian akhir sekolah.

Euforia setelah ujian sekolah terasa seperti angin kebebasan, segar, dan kelegaan hati yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, seolah ia tak memiliki beban lagi. Apakah ini namanya bahagia? Hatinya berdegup kencang dan perutnya berkali-kali terasa mulas, seakan-akan ia menunggu sesuatu yang akan membuatnya bersemangat. Terakhir kalinya ia merasakan ini adalah saat The Females debut untuk pertama kalinya.

Ava tersenyum sinis. Sungguh ironis. Ia tak pernah menyangka akan merasakan kebahagiaan di sini, di sekolah yang awalnya sangat ia tentang.

Lengan seseorang merangkul leher Ava dengan semangat dari sebelah kanan. Rambut yang diikat dua itu naik dan turun seiring dengan lompatannya di samping Ava.

"Lo bisa nyium itu kan?" tanya Ellen di sela-sela pelukannya untuk Ava. Ia lalu menghirup dan mengeluarkan napas dengan panjang, tangannya berayun-ayun seperti mengipas-ngipaakan udara ke hidungnya. "Bau kebebasan. Nggak ada lagi belajar di hari Sabtu Minggu, nggak ada lagi bonyok gue yang cerewet nyuruh belajar, nggak ada lagi yang bisa bebanin otak gue! Bebaaasssss!!"

Satu lengan lainnya ikut merangkul leher Ava dari sebelah kiri.

"Pada nggak sabaran nih mau trip bareng sekolah ke Bandung!" seru Rea sambil membawa bakpao di tangan satunya.

"Lo datang kan, Ter?" tanya Ellen pada Ava.

"Ya dong, harus! Kan kita udah janjian mau ngabur ke konser Maliq&d'essentials malam minggunya!" potong Bima yang tiba-tiba ada di sebelah Ellen.

"Yeee nyamber aja kayak petir!" sindir Ellen.

Beberapa adik kelas yang mereka lewati berbisik sambil berkali-kali melirik Bima. Ellen yang jengkel lalu menarik Ava untuk bertukar posisi dengannya, sehingga Ava berpindah tempat ke sebelah Bima.

"Apaan dah lo, Len!" seru Ava saat lengannya bertabrakan dengan Bima.

Bima-nya senyum-senyum.

"Biar adek-adek tahu kalo Bima udah nggak buka pendaftaran cewek lagi!" goda Ellen yang memperlebar senyum Bima.

Ava memutar bola matanya.

Bukannya sebal, adik-adik kelas itu semakin histeris ketika melihat senyum Bima.

"Woy! Biasa aja dong! Heran gue, ke mana aja mata mereka kemarin-kemarin? Baru nyadar ada yang seger di geng kita," Ellen mengomel lagi.

"Seger, emangnya gue degan?" sindir Bima yang disambut tawa oleh yang lain.

"Hey, Bim!" sapa Stella, di belakangnya sudah ada sederet geng populer di sekolah: termasuk Gerry dan Nina.

Ava mencoba untuk tidak melihat ke arah mereka, khususnya Gerry yang sedang menatap lurus padanya.

Lavatera [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang