Teriakan 80 ribu penggiat eSport dari seluruh dunia menggema di Beijing National Stadium, China, malam itu. Malam di mana remaja 17 tahun dengan nickname Thunder akhirnya memenuhi salah satu mimpinya, bermain di bawah spotlight turnamen dunia yang menutup semua laga permainan eSport populer, League of Legends, yang ada di tahun 2017. Turnamen ini sekelas Piala Dunia dalam sepak bola, menjadikan League of Legends World Championship sebagai salah satu turnamen yang paling bergengsi di dunia eSport.
"Wow, sangat tidak disangka Thunder yang sebenarnya pemain cadangan dan baru bermain di babak 3, malah bisa membawa timnya dengan baik hingga di babak 4," ujar Seica, caster-atau moderator, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Ia merupakan salah satu caster perempuan berbakat asal Malaysia yang tidak hanya pandai membawa acara dan menganalisis pertandingan, namun ia juga dulunya merupakan pemain profesional di tim yang semuanya beranggotakan perempuan.
"Ya, World Championship tahun ini penuh dengan kejutan. Bahkan saya tidak pernah melihat The Storm masuk semi final sebelumnya, dan ironisnya dengan bantuan pemain cadangan baru yang juga belum pernah bermain di turnamen internasional sebelumnya," timpal Lei, caster asal China dengan sedikit aksen mandarin. Ia juga adalah salah satu caster yang sering tampil di berbagai turnamen eSport dunia. Ini adalah tahun keduanya menjadi caster internasional permainan League of Legends, setelah sebelumnya ia menjadi caster permainan saingan League of Legends, yaitu Dota 2.
"Seperti kita tahu, EQ, tim yang melawan The Storm kali ini, sudah beberapa kali memenangkan kompetisi dunia seperti ini. Bukan hal yang baru jika mereka berhasil mengalahkan The Storm dengan telak di dua babak sebelumnya. Tapi di babak tiga ini, saat The Storm akhirnya mengeluarkan senjata rahasia mereka, yaitu Thunder, dan mereka menang dua kali berturut-turut menyusul skor EQ menjadi 2-2... Wow, the game is finally on!" ujar Seica dengan lincah.
"Ya! Saya tidak sabar untuk melihat siapa yang akan menang di babak terakhir dari Semi Final World Championship ini. Karena jika The Storm menang, maka mereka akan memasuki babak Final pertama mereka melawan tim legendaris yang telah menjadi juara satu secara berturut-turut di World Championship, The Royal. "
"Dan jika EQ menang, maka mereka harus melawan The Royal lagi tahun ini setelah mereka dikalahkan The Royal tahun lalu di Final."
"Ya, itu akan menjadi pertempuran penuh darah, hahahhaa!"
Thunder merinding memandang lautan penuh manusia yang mengeliinginya. Wajahnya yang melongo terpampang jelas di layar super besar di atas kepalanya. Ini masih terasa surreal. Setiap tahun ia berada di salah satu bangku penonton itu bersama teman-teman dekatnya yang sama-sama menyukai League of Legends, berteriak mendukung tim yang hari ini menjadi lawannya, EQ. Ia menggeleng tidak percaya. Keringat dingin meluncur dari dahinya. Meski ruangan full AC itu super dingin dan mereka basically hanya duduk dan bermain di komputer, ia merasa sangat lelah. Dua babak ini telah menaikturunkan emosinya seperti roller coaster.
"Hey, Thunder, look at me!" Pelatih The Storm, Fordy, berteriak di headset yang menghubungkan mereka secara tim.
"Yes, Coach."
"OK, guys. So this is it. Saya tahu kalian gugup melawan tim yang sering menjadi juara dunia. But hey, justru karena kita tahu cara permainan mereka dan mengenal mereka luar dalam, kita bisa melihat celah mereka dan mengambil kesempatan itu. Kini saatnya The Storm masuk Final! Dan jangan lupa guys, have fun..."
***
"Thunder, I'm a fan! Nggak nyangka ketemu di sini. Apa kamu ke sini untuk pertandingan Mid-Season di bawah?" tanya salah satu remaja yang mengerubungi Gerry di lobby The Ritz Carlton Millenia, Singapore. Gerry menggeleng sambil tersenyum sebagai jawaban. Ia dibantu bodyguard hotel melewati lobby yang penuh sesak hingga akhirnya masuk van mewah yang disewa Ava hari itu.
Di dalam mobil semua orang memandang Gerry penuh tanda tanya, terutama Sinta yang menunjukkan banyak kerutan di dahinya, curious. Gerry hanya mengangkat bahunya grogi.
"Salah orang kali mereka," ujar Gerry memecah kesunyian di dalam mobil. Dari sudut matanya, ia dapat merasakan Ava memutar bola matanya dan kembali ke pemandangan jendela di sebelah kanannya.
"Masih main game online itu, Ger? Bukannya papa kamu..." Ben hendak bertanya.
"Udah enggak kok, Kak," potong Gerry sambil tersenyum.
"Game online? Sampe kayak gitu tadi penggemarnya?" tanya Sinta masih tidak percaya.
"Well, world is changing. Kamu sebaiknya banyak membaca update berita," ujar Ben tak acuh sambil membaca majalah yang ada di mobil.
O o... Gerry dan Ava melirik Sinta yang ada di tengah-tengah mereka. Wajah Sinta kini berubah menjadi menyeramkan.
"Oh well, mas-mas tukang samber, sebaiknya Anda yang harusnya belajar sopan santun. Anda tidak mengenal saya dan begitu juga sebaliknya, jadi tolong jaga sikap Anda ya," balas Sinta.
Ben mendengus.
"Justru itu yang bikin kamu kelihatan nggak suka baca berita," gumam Ben, pelan sekali hingga sepertinya hanya Gerry yang mendengarnya.
Gerry menahan tawanya demi sopan santun. Ya, siapa yang tidak mengenal Ben. Ia ada di berbagai majalah dan koran bisnis, terkenal menjadi satu-satunya pewaris dinasti keluarganya dan the most wanted bachelor karena ketampanan dan sikap dinginnya terhadap wanita.
Kadang ia tidak mengerti kenapa banyak wanita justru menyukai orang-orang yang tidak menyukai mereka dan bersikap dingin kepada mereka. Jadi apa esensi menyukai orang yang sudah pasti tidak menyukainya balik?
Lalu Gerry melirik Ava yang sedang menatap kosong ke arah jendela.
Ia kemudian terkejut atas pikirannya sendiri. Mengapa ia menyambungkannya ke Ava? Ia sama sekali tidak menyukai Ava, begitu juga dengan Ava, obviously. Jadi hal ini tidak berhubungan dengan dirinya... Tidak... Ia hanya peduli terhadap teman kecilnya, tidak lebih.
"Ger," panggil Sinta.
"Hm?"
"Lagi sakit?"
"Nggak Kak. Cuma agak dingin nggak sih?"
"Mau pinjam jaket gue, Ger?" tawar Ben.
"Nggak usah, Kak. Terima kasih."
"Sin, vitamin yang kemarin lo beli dong," pinta Ava tiba-tiba.
"Buat Gerry?" tanya Sinta sambil tersenyum.
"Nggak. Buat gue," jawab Ava.
"Tapi boleh buat Gerry juga ya? Kan beli banyak," Sinta bertanya lagi.
Ava tidak berkata apa-apa setelah meminum vitaminnya. Sinta yang entah sejak kapan memiliki hubungan komunikasi batin dengan Ava, menganggap itu sebagai "boleh" dan membagi vitaminnya dengan Gerry.
"Thank you, Kak," Gerry menerima vitamin C itu dan meminumnya.
Sinta tersenyum penuh arti.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Lavatera [completed]
Ficção AdolescenteKehidupan Lavatera tidak pernah sama dengan remaja lainnya. Meski ia cantik luar biasa, emosi dan karakternya yang kompleks tidak pernah cocok untuk berteman, menjadi pemimpin grup, ataupun menjadi pacar seseorang. Tekadnya untuk hidup sendiri seum...