32

13.1K 540 7
                                    

Makan siang kali ini Gia lebih memilih untuk makan bersama Fero diluar kantor. Alasan utamanya apalagi kalau bukan menghindari Fatur.

Fero hanya bisa menuruti kemauan Gia, dia tahu tidak semudah itu untuk Gia melupakan masalalunya.

"Jadi kapan kamu akan menikah dengan Gisel? Dia gadis yang baik. Aku suka," kata Gia.

Fero tertawa kecil. "Kami belum menentukan tanggalnya. Tapi orang tua Gisel akan datang beberapa hari lagi," kata Fero dengan senyum yang mengembang diwajahnya.

"Wah sepertinya tidak akan lama lagi," kata Gia dengan senang. "Dan kalau kalian sudah menentukan tanggalnya, pastikan aku orang pertama yang kalian beri tahu," kata Gia dengan tatapan mengancam. Untuk kesekian kalinya Fero berhasil mengalihkan pikiran Gia dari rasa cemasnya yang tidak beralasan.

Mereka asik mengabiskan waktu makan siang mereka di restaurant itu tanpa menyadari sedari tadi ada sepasang mata yang menatap sendu kearah mereka.

"Pekerjaanku sudah selesai, aku akan menjemput Gisel. Kau tak apa pulang naik taxi?" tanya Fero saat melihat Gia masih sibuk dengan para pekerjanya.

Gia tampak berpikir. "Yasudah, sampaikan salam dariku untuk Gisel," kata Gia yang kembali memantau para pekerjanya.

Fero mengangguk dan setelahnya dia pergi menuju parkiran untuk menjemput Gisel.

Setelah Fero pergi Gia kembali mengecek dekorasinya yang hampir selesai. Tinggal menaruh beberapa barang lagi dan memasang lampu-lampu hias. Sepertinya Gia akan lembur untuk menyelesaikan pekerjaan ini secepatnya.

"Ibu gak pulang aja? Ini tinggal merapikan barang-barang saja," kata salah satu pekerja.

Gia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Tak apa, saya akan memberi tahu dimana kalian harus meletakkannya nanti," kata Gia.

Jam ditangannya sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sebagian pekerja sudah pulang, dan sebagian lagi masih menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi.

Gia kembali mengecek dekorasinya. "Wallpaper sudah, lukisan sudah, lampu hias sudah, meja sudah," Gia menatap puas hasil dekorasinya. Akhirnya pekerjaan ini selesai.

"Pekerjaan kami sudah selesai," kata salah satu pekerja kepada Gia.

Gia tersenyum. "Ya, kerja yang bagus. Terima kasih atas kerja samanya," kata Gia sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Setelah memastikan para pekerja sudah pulang Gia mengambil tasnya dan menutup pintu ruangan itu. Saat berbalik hendak memberikan kunci ruangan itu ke meja receptionist langkahnya terhenti. Fatur berdiri dihadapannya dengan menatap dalam kemata Gia.

Gia berdiri mematung, dia tidak seharusnya berada disini berhadapan dengan Fatur. Kakinya sungguh berat untuk digerakkan, lidahnya kelu hanya untuk menucapkan satu kata, matanya terkunci pada manik mata pria itu.

"Maaf," hanya satu kata yang keluar dari mulut Fatur dan setelahnya pria itu langsung memeluk Gia.

Tubuh Gia menegang dengan pelukan Fatur yang tiba-tiba, bahkan kunci yang sedari tadi dia pegang jatuh begitu saja ke atas lantai.

Pelukan itu tidak terasa menghangatkan bagi Gia, tapi terasa menyakitkan. Sangat sakit hingga mampu membuat Gia terjatuh pada ruang gelap yang sama, ruang gelap yang pernah Gia tempati enam tahun yang lalu. Ruang gelap yang menjebak Gia dalam kesedihan, ruang gelap yang merampas senyum dan kebahagiaan Gia.

Air mata jatuh begitu saja dari mata Gia. Ini tidak benar, dia tidak boleh mempersilahkan pria itu kembali lagi ke kehidupannya. Gia mendorong Fatur hingga pria itu melepas pelukannya.

"A-apa yang k-kamu lakuin?" kata Gia dengan suara yang bergetar.

Fatur menatap wajah Gia yang basah dengan air mata. "Maaf, gue minta maaf untuk semua yang gue lakuin ke lo," kata Fatur sambil mencoba mendekati Gia kembali.

Gia melangkah mundur seperti gerakan spontan dari tubuhnya. Manik mata itu menggelap seakan menunjukkan betapa gelapnya ruang yang menjebaknya saat ini.

"We can't fix what's broken, kamu bagian dari masalalu aku Tur. Aku mohon jangan libatkan aku ke kehidupan kamu lagi, ruang ini sudah cukup gelap," tunjuk Gia pada hatinya, air mata sudah tak bisa lagi dia bendung. "Cukup gelap untuk membuat aku mengerti kalau kehadiran kamu memang bukan bagian dari bahagiaku."

"Gue tahu dari awal ini kesalahan gue karena gak mau mencoba buat perjuangin lo. Gue yang terlalu patuh sampe gue kehilangan perempuan yang memcintai gue dengan tulus. Tapi kali ini biarkan gue berjuang untuk lo Gi, untuk hati lo, untuk kebahagiaan lo," kata Fatur menatap Gia dalam, seakan dia ingin Gia tahu bahwa dia sungguh-sungguh dengan perkataannya. "Jangan pernah menjauh dari gue lagi Gi. Enam tahun gue nyari lo, dan sekarang lo ada dihadapan gue. Ini masih kayak mimpi."

Hati Gia terasa teriris mendengar semua itu. "Enam tahun aku coba bangkit dari ruang gelap ini, dan dalam enam menit kamu kembali buat aku jatuh dan terjebak di ruang gelap yang sama," kata Gia yang sukses menohok hati Fatur.

"Apa yang ingin kamu perjuangin? Semuanya terlambat Tur. Kesempatan kamu udah abis, biarin aku menjalani hidup aku dengan tenang. Dan kamu, belajar menerima orang yang sekarang mencintai kamu dengan tulus kalau kamu memang menyesal atas apa yang terjadi dulu. Jangan mengulang cerita yang sama untuk kedua kalinya," kata Gia mencoba menjaga hatinya agar tak terlibat dalam obrolan ini. Karena jika hatinya terlibat maka semuanya akan tambah sulit buat Gia.

"Dari awal hati ini cuma untuk lo Gi, cuma lo," kata Fatur dengan suara yang bergetar.

"Jika itu benar, maka seharusnya kamu sudah mengatakan itu enam tahun yang lalu. Disaat semuanya masih baik-baik aja Tur."

Fatur mengusap wajahnya kasar, kembali menyesali kebodohannya dulu. Menyesali semuanya yang telah terjadi, merutuki dirinya dan terus menyalahkan dirinya sendiri. "Gue mau, tapi gue gak mampu."

"Kalau kamu gak mampu, berarti kamu memang bukan pria yang ditakdirkan untuk menjadi bahagiaku Tur," kata Gia yang langsung pergi begitu saja tanpa mendengarkan jawaban dari Fatur lagi.

Gia menyetop taxi yang lewat didepan kantor Fatur. Air mata sudah membanjiri wajahnya sejak tadi, dia memeluk tubuhnya sendiri rasanya dadanya begitu sesak.

"Maaf mba, mau di anter kemana?" tanya supir taxi tersebut.

Gia tersadar dari tangisannya, dia menghela napas dalam-dalam sebelum memberi tahu alamat yang dia tuju. Tak butuh waktu yang lama taxi yang ditumpangi Gia berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang lumayan mewah. Gia membeli salah satu apartemen di gedung itu beberapa hari yang lalu bersama Fero.

Setelah membayar ongkos taxinya Gia langsung berjalan dengan cepat memasuki gedung apartemen itu. Sesampainya di dalam apartemennya Gia langsung masuk kedalam kamarnya, satu-satunya ruang yang sudah terisi barang. Beberapa hari ini Gia sangat sibuk sampai dia tidak sempat untuk mengurus perlengkapan dan barang-barang di dalam apartemennya.

Gia menangis sambil memeluk bantalnya. Dengan susah payah dia menidurkan rasa sakit ini tapi dengan mudahnya Fatur kembali membangunkannya. Enam tahun yang sudah Gia lewati terasa sia-sia, nyatanya dia masih bisa terjatuh pada rasa sakit yang sama.

Semua kenangan enam tahun yang lalu seakan berputar menjadi satu di kepala Gia. Mulai dari awal kedekatannya dengan Fatur hingga perginya Darel, semua kenangan itu berkumpul menjadi satu menghantam kepala Gia.

Gia merasakan sakit yang sangat hebat dikepalanya sampai dia menjambak sendiri rambutnya. Dia ingin menghentikan semua kenangan yang dengan lancang berlarian di kepalanya. Kakinya mengajaknya menuju arah balkon kamarnya. Gia duduk di pojokan balkon sambil terus memegangi kepalanya.

***
Holla, masih ada yang baca kah? Setelah lama tidak muncul, mencoba menyapa para readers dengan satu part ini hehe, ditunggu vote dan komentarnya untuk part selanjutnya. See you guys 👋

Lot's of love,

Author.

Anggiana (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang