Bendera kuning serta suara lantunan surat yasin menyambut kedatangan Gia didepan rumah Darel. Gia sempat pulang untuk mengganti bajunya, beberapa teman satu sekolahnya juga terlihat sudah berada disana.
Gia ditemani dengan Amel masuk kedalam rumah Darel. Disana Darel terbaring diselimuti oleh kain yang menutupinya. Gia hampir saja terjatuh jika Amel tidak dengan segera menangkapnya.
"Gia," teriak Amel saat Gia hampir terjatuh.
Nando dan Imam yang duduk tidak jauh dari sana langsung membantu Amel. Mereka membawa Gia mendekati Vio yang duduk disamping Mamanya yang masih terus menangis sambil membacakan surat yasin. Papanya Darel hanya diam, menatap putra satu-satunya itu dengan tatapan kosong.
Gia masih merasa jika ini hanyalah sebuah mimpi. Darel tidak akan meninggalkan dirinya begitu saja.
"Gia jangan ngelamun," kata Amel menyadarkan Gia.
Gia hanya mengangguk dan menyenderkan kepalanya di bahu Amel. Temannya itu paham Gia benar-benar terpukul atas kepergian Darel. Mereka berdua; Gia dan Darel, memang sangat dekat belakangan ini. Walaupun Gia bilang bahwa mereka hanya berteman. Tapi bagi Amel hubungan Gia dan Darel cukup dekat untuk dibilang hanya sekedar berteman.
Imam dan Nando yang duduk disamping Papanya Darel pun terlihat sendu menatap sahabatnya itu.
"Mel," panggil seseorang dari belakang Amel.
Amel dan Gia menoleh, disana berdiri Dita dan beberapa teman sekelas Darel yang lainnya. Gia dan Amel sedikit bergeser memberikan tempat untuk teman-temannya Darel yang ingin mengucapkan belasungkawa.
Setelah jenazah Darel sudah selesai di kafankan serta disolatkan, jenazah langsung segera dimakamkan. Gia ikut mobil kedua orang tua Darel karena permintaan Vio.
Vio ingat, dulu Darel pernah bercerita tentang seorang gadis yang dia sukai. Dan Vio yakin gadis itu adalah Gia. Sama seperti suasana di rumah tadi, suasana dimakam masih dihujani air mata dan isak tangis orang-orang terdekat Darel.
"Yang tenang Rel disana. Makasih udah pernah jadi temen kita," kata Nando sambil memegang nisan milik Darel.
"Lo parah bro, buat Gia nangis. Katanya lo sayang dia," kata Imam yang membuat Gia kembali terisak sambil memeluk Vio disampingnya.
Gia tak sanggup menahan kesedihannya, walaupun dia berusaha tidak menangis, air matanya mengalir begitu saja.
"Kak Gia cantik kak, kakak salah gak ngenalin Kak Gia ke aku dulu," kata Vio.
"Cukup," kata Gia sambil memegangi dadanya yang sesak. Gia tak sanggup lagi mendengar perkataan yang menyangkut pautkan dirinya dan Darel, karena semuanya bagaikan pisau yang terus ditancapka ke hati Gia, sangat sakit.
Setelah cukup lama Gia diantar oleh Nando kembali kerumahnya. Dirumahnya Mamanya Gia menyambut Gia dengan tatapan khawatir. Putrinya itu terlihat tidak baik-baik saja.
"Gia gakpapa?" tanya Mamanya menatap Gia khawatir.
Gia kembali menangis sambil memeluk Mamanya. "Darel Ma," bisik Gia dengan suara yang bergetar.
Mamanya Gia memeluk anaknya itu sambil membantunya berjalan ke kamar Gia. Sesampainya dikamar Mamanya langsung mendudukan Gia di kasurnya.
"Gia denger Mama," kata Mamanya Gia sambil menghapus air mata Gia. "Semua yang hidup itu pasti akan mati," kata Mamanya Gia.
"Gia gak boleh larut dalam kesedihan terus. Mama tau Darel temen deket Gia, tapi coba deh Gia pikirin apa Darel seneng ninggalin Gia?" tanya Mamanya. "Pasti Darel juga gak mau ninggalin Gia. Tapi takdir itu Allah yang ngatur, manusia cuma bisa berencana."
Gia masih tetap menangis.
"Mending Gia doain Darel dari pada nangis. Darel lebih butuh doa Gia dari pada air mata Gia," kata Mamanya Gia mengusap rambut Gia dengan lembut. Setelah itu Mamanya Gia membiarkan Gia didalam kamarnya sendirian. Gia perlahan tertidur dikasurnya.
Gia terbangun dari tidurnya dengan matanya yang sakit akibat seharian ini dia terus menangis. Rasa sesak didadanya tidak juga hilang walau dia sudah menangis seharian. Dibenaknya terus terlintas wajah Darel yang sedang tersenyum padanya, senyum manis Darel yang selalu tertuju padanya.
Gia berjalan keluar kamarnya menatap taburan bintang di langit hitam. "Andai waktu bisa diulang, gue mau ngabisin waktu lebih lama sama lo Rel," kata Gia sambil menatap bintang di atas sana.
***
Keesokan paginya Gia bersiap-siap berangkat sekolah. Sebenarnya Gia sudah berencana untuk tidak sekolah hari ini. Namun perkataan Mamanya kembali menyadarkan Gia. Dia tidak bisa selalu terpuruk dalam kesedihan, merasa kehilangan boleh asal jangan terlalu larut dalam kesedihan. Gia harus bangkit, dengan cara apapun. Dia harus bisa merelakan Darel walau itu sulit.
"Ma Gia berangkat," kata Gia dengan suara yang kecil, bahkan hampir tidak terdengar oleh kedua orang tuanya yang sedang menikmati sarapan dimeja makan.
"Gia gak sarapan dulu?" kata Mamanya yang dijawab gelengan kepala oleh Gia.
Setibanya disekolah Gia langsung menuju kelasnya. Tak ada senyum ramah Gia lagi, wajah yang biasanya tampak berseri kini berubah menjadi murung.
Sapaan dari teman sekelasnya pun hanya Gia balas dengan senyum tipis. Amel yang baru saja datang langsung menghampiri Gia yang sudah datang lebih dulu darinya.
"Gi jangan murung gitu dong," kata Amel sambil memperhatikan wajah Gia.
Gia tersenyum tipis menatap Amel lalu kembali mengalihkan pandangannya lagi.
Amel menghela napasnya pelan. Jika saja Gia seperti ini karena ditinggal Darel dengan wanita lain atau merasa diberi harapan palsu oleh Darel, Amel pasti akan langsung memarahi Gia. Tapi kali ini masalahnya tidak sesepele itu. Gia kehilangan Darel untuk selamanya. Darel hanya meninggalkan kenangan untuk Gia.
"Gi jangan gini dong, gue jadi gak bisa marahin lo jadinya," kata Amel merengek seperti anak kecil yang meminta es krim kepada ayahnya.
"Jangan hiraukan gue," kata Gia sambil menatap Amel. "Sekarang gue lagi nyaman sama diri gue yang kayak gini," kata Gia.
Amel memilih diam, tak ada gunanya dia memaksa Gia untuk bersikap seperti semuanya baik-baik saja. Karena Amel tahu semuanya tidak baik-baik saja.
Jam pelajaran ketiga kelas Gia mendapati jam kosong. Guru yang mengisi pelajaran berhalangan hadir. Semu murid langsung berkumpul membentuk kelompok masing-masing. Ada yang bergosip, ada yang menonton film dari laptop, ada yang mendengarkan lagu, ada juga yang tidur di belakang kelas.
"Gue liat kemarin tempat kejadian Darel kecelakaan. Mobilnya ancur parah," kata salah satu murid yang didengar oleh Gia.
"Iya. Parah banget, itu gara-gara numbur pembatas jalan kan? Yang gue denger sih kayak gitu," sahut yang satunya.
"Iya katanya Darel ngehindarin motor gitu jadi numbur pembatas jalan."
"Padahal gue sempet suka lah sama dia, cepet banget meninggalnya."
Gia yang sedari tadi hanya menyimak sudah siap menjatuhkan air mata yang menggenang dimatanya.
"Eh bukannya Gia lagi deket sama Darel ya?"
Gia langsung menggebrak mejanya tak sanggup lagi mendengar obrolan teman-temannya yang terdengar oleh Gia. Sontak itu mengagetkan seisi kelas termasuk Amel yang sedang asik mendengarkan lagu di sampingnya, serta teman sekelasnya yang sedari tadi asik bergosip.
"Gi lo ke-" belum selesai Amel menyelesaikan pertanyaannya Gia sudah pergi keluar kelasnya.
"Lo sih keras-keras suaranya." Teman sekelas Gia yang sedari tadi asik bergosip saling menyalahkan satu sama lain. Amel langsung berlari menyusul Gia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anggiana (Complete)
Ficção AdolescenteBagiku ini sudah cukup. Kau tak akan pernah mengerti bagaimana rasanya dipaksa berhenti memperjuangkan sesuatu yang sangat kau inginkan. Dan kini aku tersadar aku telah kalah dari kegelapan.