30. Lepas Kendali

344 20 0
                                        

"Hari Sabtu kemarin, lo buru-buru ke mana, Na?"

Hana menoleh pada Hans, terdiam sejenak karena bingung harus menjawab seperti apa. Saat ini, Hana dan Hans sedang berjalan bersisian menuju kantin setelah sebelumnya menemani Hana ke perpustakaan, mengembalikan buku yang pernah dipinjamnya tempo hari.

Hana mengalihkan padangannya ke depan, berdeham pelan. "Oh, aku ada urusan sama Monic."

Hans mengangguk, bergumam mengerti, namun tidak bertanya lebih lanjut.

Hana menggigit bibirnya sembari meringis pelan. Ia sebenarnya tidak mau berbohong, tetapi ia bisa apa? Dibanding itu, ia lebih tidak mampu lagi jika harus mengatakan kepada Hans kalau hari itu ia pergi untuk menemui Rei. Ia merasa tidak enak hati.

Berbicara tentang Rei, Hana jadi malu dan kesal di saat bersamaan. Ingatan akan sore menjelang senja di taman waktu itu, membuatnya ingin lari dari kenyataan.

Hana masih tidak bisa berkata apa-apa saat itu, diam membisu, hingga akhirnya Rei melepaskan pelukannya. Dan saat itulah, Hana merasa kembali menemukan suaranya. "Rei... A-apa yang baru saja kamu lakukan?" Hana bertanya, sedikit terbata-bata.

Bukannya merasa bersalah, cowok tengil itu malah menyugar rambutnya ke belakang, nyengir. "Lo lama amat sih, datangnya... Gue kan, jadi kedinginan."

Hana berusaha mencerna maksud dari perkataan Rei. "Apa?"

"Nggak ada! Lo lemot."

Mendengar kata "lemot", Hana tiba-tiba saja merasa kesal bukan main. Masalah pelukan tadi terlupakan seketika. "Apa?! Aku nggak lemot! Aku cuma lagi mikir, Rei...." ia berseru tidak terima.

Rei terkekeh. "Iya, iya. Canda kok, Na."

Hana menghembuskan napas berat, bersedekap, menatap Rei lelah. "Jadi... buat apa kamu nyuruh aku ke sini?"

"Buat apa, ya...?" Rei terlihat berpikir sebentar. "Ah! Anterin gue pulang dong, Na. Gue tadi diculik sama Nico, jadi gue nggak sempat bawa motor."

Hana mendengus kesal. Ternyata ia disuruh buru-buru datang ke sini cuma untuk mendengar itu? Yang benar saja! Cowok satu ini benar-benar menyebalkan! Minta disantet kayaknya.

"Ini perintah loh, Na...."

Hana melirik Rei yang sedang memasang senyum kemenangan dengan tajam. Namun, sekali lagi, ia bisa apa?

Hana menggeleng pelan, mengusir ingatan yang mengganggu itu. Sungguh, hari Sabtu kemarin adalah hari paling menyebalkan yang pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Setibanya di pintu kantin, Hana berhenti sejenak. Tatapannya terpaku pada meja pojok yang berisi lima orang yang terlihat saling melempar gurauan satu sama lain.

"Kenapa berhenti, Na?"

Hana tersentak. "Hah? Oh, nggak."

Lagi, Hana merasa ingin kabur saja, tidak ingin melihat apalagi bertemu dengan cowok itu. Ia tidak ingin merasa canggung.

Beberapa detik berdiam diri, berusaha mengatakan pada diri sendiri kalau kejadian di taman waktu itu tidak pernah ada, barulah Hana menghela napas panjang.

Hana menoleh pada Hans, ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan ketika sudut matanya menangkap kehadiran sosok seseorang yang paling tidak ingin dilihatnya sedang berjalan ke arahnya.

Orang itu, Farah, dengan beberapa "teman" palsunya berhenti di depan Hana, menyunggingkan senyum miring. "Hai, Hana." sapanya sok manis, lalu beralih menatap Hans, mengedipkan sebelah matanya. "Hai, Hans..."

Hope [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang