15. Rindu Dia

473 28 0
                                        

Tiga tahun kemudian,

Pagi itu, seorang cowok mengendarai motor sportnya dengan santai, sebelum akhirnya ia memasuki gerbang sekolah dan memarkirkan motornya di antara motor yang lainnya.

Cowok itu kemudian melepas helmnya, meletakkannya di atas motor dengan sebelah tangan, sedangkan sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk merapikan rambut hitamnya yang sedikit berantakan. Dan, kegiatannya itu cukup membuat para gadis di sekitarnya berteriak histeris.

Sejenak, cowok itu melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya yang sekarang menunjukkan jam 7 kurang 10 menit, dengan langkah santai ia melewati orang-orang di sekitarnya yang sudah terlihat seperti patung hidup itu.

Saat ia melewati koridor pun keadaannya tidak jauh berbeda. Orang-orang yang tadinya ramai berjalan di koridor langsung menepi memberi jalan untuknya. Dan itu terjadi hampir setiap hari, membuatnya sangat jengah.

Kadang ia bertanya-tanya sendiri kenapa banyak sekali orang yang memperlakukannya selayak orang penting. Padahal menurutnya tidak begitu. Ia hanyalah seseorang yang tugasnya mengayomi teman-temannya ke arah yang lebih baik, tidak lebih.

Ketika ia memasuki kelas, ia langsung di sambut oleh seluruh teman sekelasnya.

"Rei! Akhirnya lo datang juga!" seru salah seorang cewek yang duduk di dekat pintu kelas.

Setelah itu mereka semua yang ada di dalam kelas menjabat tangan cowok itu dan berkata 'Selamat ya, lo juara pertama Olimpiade Matematika kemaren.'

Rei yang awalnya bingung akhirnya mengerti dan ia langsung menampakkan cengiran khasnya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal akibat salah tingkah.

Setelah acara salamannya selesai, cowok itu langsung berjalan ke arah mejanya dan duduk di sana.

"Apa gue bilang, lo pasti menang!" seru salah seorang sahabatnya, yang sekaligus teman sebangkunya, Nico.

"Iya, iya, tau gue. Pasti sekarang lo semua pada nge-fans kan, sama gue?" tanya Rei percaya diri.

Rio berdecak. "Aelah, baru segitu doang udah songong lo!" hardiknya membuat Rei mencibir.

"Bilang aja lo pada ngiri kan sama gue," balas Rei tidak mau kalah.

Nico berdecih, sedangkan Rio mendengus melihat tingkah temannya itu yang sangat percaya diri.

Rei sendiri hanya bercanda mengatakan semua itu, karena ia tahu kalau kedua temannya itu bukanlah siswa sembarangan di sekolah ini.

Nico Chavaz, blesteran Inggris-Indo yang sangat mahir berbahasa asing. Sejauh ini ia sudah menguasai bahasa Indonesia, Jepang, Korea, Arab, dan Inggris tentunya.

Rio Hendrawan, blesteran Jawa-Minang yang mahirnya di bidang sastra. Apa pun yang berhubungan dengan sastra, baik membuat puisi, pantun, cerpen, bahkan novel pun bisa ia buat dengan baik. Rio sendiri sudah seringkali mengikuti berbagai macam lomba sastra dan dia selalu memenangkannya.

Saat bel masuk berbunyi, barulah semua bangku di kelas ini terisi penuh. Tak lama kemudian guru yang mengajar di jam pertama masuk dan pelajaran pun di mulai.

Selama proses belajar mengajar, Rei hanya menatap guru yang sedang menjelaskan di depan kelas itu dengan pandangan melamun. Entah kenapa, ia merasa sangat merindukan seseorang yang dulu pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Seseorang yang setelah pergi tidak pernah lagi mengabarinya.

Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan, orang yang ia tunggu-tunggu itu belum juga kembali. Bahkan, Rei tidak tau lagi bagaimana kabar orang itu sekarang, apakah dia masih hidup atau tidak.

Hope [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang