33. Awal Perubahan

287 17 0
                                        

Sesuai rencana, siang itu, Hana dan Monic sudah berada di dalam gedung rumah sakit. Berkali-kali Hana menegur jalan sepupunya yang terlihat santai.

"Santai aja kali, Na. Kamar inapnya si Mutia juga nggak bakalan pindah ke mana-mana," begitulah Monic membalas Hana yang sedang mengomel.

Hana mendesah pelan, memilih untuk tidak berkomentar lagi.

Sesampainya di depan ruang perawatan Mutia, Hana menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia membuka pintu putih di depannya pelan, menatap Mutia yang sedang berbaring di ranjangnya. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain Mutia dan ibunya.

Setelah menyapa dan berbasa-basi sebentar, ibu Mutia meninggalkan kamar bernuansa putih itu, memberikan privasi.

Hana berdeham. "Mutia, maaf ya, beberapa hari ini aku belum sempat jengukin kamu."

Mutia tersenyum kecil, namun terlihat tulus. "Nggak apa-apa. Omong-omong, terima kasih ya, udah nolongin gue dan bawa gue ke rumah sakit. Gue nggak tau apa yang akan terjadi kalau misalkan lo nggak ke toilet hari itu."

Hana terkekeh pelan, mengusap tengkuknya dengan gugup. "Baguslah kalau sekarang kamu udah mulai baikan. Aku cemas banget waktu itu."

"Gue nggak tau apa yang terjadi waktu itu." Mutia menunduk sedikit, menatap jemari tangannya yang saling bertautan. "Farah tiba-tiba aja cegat gue dan bawa gue ke toilet. Setelah nyiram gue, dia langsung ngurung gue di bilik toilet setelah sebelumnya ngambil ponsel gue. Gue ketakutan saat hari menjelang malam. Keadaan toilet terlalu hening dan gelap. Tapi, yang bisa gue lakuin saat itu cuma ngeringin seragam yang basah. Sepertinya gue udah kena karma atas apa yang pernah gue lakuin selama ini."

Hana melirik Monic, bertanya apa yang harus ia lakukan lewat tatapan mata. Namun sepupunya itu hanya mengangkat bahu dengan cuek.

Mutia mengangkat wajah, tersenyum miris. "Tuhan kayanya sayang banget sama gue. Mendatangkan gue karma lebih cepat supaya gue sadar."

Hana hanya bisa diam mendengarkan.

"Hana," Mutia memanggil dengan lirih, meraih sebelah tangan Hana yang menggantung di sisi tubuh. "Gue mau minta maaf atas sikap gue di masa lalu. Perlakuan bokap gue, membuat gue ingin menyalurkannya pada orang lain. Diam membuat gue sesak, hingga tanpa sadar, gue menjadikan lo sebagai tempat pelampiasan emosi yang gue pendam. Selama ini, gue nggak pernah berbuat baik sama lo, tapi lo..."

Hana menelan ludah.

Mutia menarik napas sejenak. "... lo menolong gue tanpa melihat status. Sebagai orang yang pernah ditindas, lo itu terlalu baik. Gue benar-benar merasa bersalah. Saat gue ingin minta maaf, Ivy bilang, lo udah pindah sekolah. Dan saat itu, gue merasa sangat menyesal. Rasa bersalah itu terus aja hinggap di hati gue dan belum akan hilang sebelum gue minta maaf."

Hana tertunduk. Bayang-bayang masa lalu kini kembali bermain-main dalam ingatannya. "Aku memang bukan orang pendendam. Kalau kamu minta maaf, tentu kamu tau aku akan menjawab apa. Aku senang dengan kamu yang sekarang, tapi... kali ini, aku nggak akan memaafkanmu dengan mudah."

Mutia memandang Hana cepat, keterkejutan terlukis jelas di wajahnya. Ekspresi Mutia kemudian menyendu. "Kamu punya hak mau maafin aku atau nggak. Kamu memang pantas buat marah dan benci sama aku. Semua yang pernah aku lakuin terlalu jahat dan tak termaafkan."

"Aku nggak bilang begitu. Aku cuma bilang kalau kali ini aku nggak akan memaafkanmu dengan mudah. Dan itu berarti ada sesuatu yang harus kamu lakukan kalau kamu pengen dapatin maaf aku."

Mutia mengerjapkan mata beberapa kali. "Apa?"

Hana tersenyum jail. "Kamu harus berbuat dua puluh kebaikan pada orang lain. Dan kamu harus foto sama orang yang kamu bantu. Maka, dengan begitu, maaf kamu udah aku terima."

Hope [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang