Ivy tertawa kecil, tangannya bergerak mematikan keran wastafel. "Kamu tau, Na, aku nggak pernah kepikiran sedikit pun loh buat buka identitasku di depan mereka."
"Yah... mau bagaimana lagi." Hana menatap Ivy yang sibuk mengelap tangannya dengan tisu. "Cepat atau lambat, mereka juga akan tau, kan? Aku agak nggak enak juga sih, rahasiain itu dari mereka. Tapi, untunglah mereka nggak marah."
Ivy mengangguk. "Selagi mereka tutup mulut, semua akan aman terkendali."
"Jadi, apa sudah ada rencana terbaru dari Farah?" tanya Hana. Keadaan toilet yang sepi membuat Hana leluasa bertanya tanpa takut ada yang mendengar.
"Belum." Ivy menggeleng pelan. "Tapi aku yakin dia sudah punya rencana sediri. Tinggal tunggu waktu kapan dia akan mengatakannya."
Hana mengangguk mengerti, kemudian tersentak pelan. "Oh iya, Vy, hari ini Mutia sudah kembali sekolah, kan?"
"Iya, dan aku yakin seratus persen akan ada sesuatu yang terjadi hari ini."
"Sesuatu seperti apa?"
Ivy mengangkat bahunya, pertanda kalau dia tidak tahu. "Nggak usah terlalu dipikirin, Na. Ke kantin yuk, nanti Farah bisa curiga kalau aku lama." ajak Ivy seraya melangkahkan kakinya keluar dari toilet. Hana segera menyusul.
"Omong-omong, bukti yang kamu kumpulin udah cukup, belum?" tanya Hana. Sejak hari dimana Hana meminta bantuan Ivy, ia tidak pernah sekalipun cerewet bertanya. Ia membiarkan Ivy fokus mencari barang bukti, tidak ingin menganggu.
"Sedikit lagi, kamu tenang aja." Ivy mengedipkan sebelah matanya.
Setiba di kantin, saat Hana ingin masuk duluan untuk menghindari kecurigaan Farah, Hana malah disuguhi pemandangan kerumunan yang heboh entah karena apa. Karena penasaran, Hana dan Ivy mendekat, membelah kerumunan untuk melihat apa yang sedang terjadi dengan lebih jelas.
Di belakang seorang siswi yang berada di kerumunan paling depan, Hana dapat melihat Farah menggeram marah. Rambut beserta seragam Farah basah oleh air berwarna orange.
Sementara di depan Farah, Mutia terlihat tersenyum puas. Tidak ada yang melerai mereka. Teman-teman Farah pun hanya duduk diam, melihat apa yang terjadi tanpa mau turun tangan.
"Heh! Gue tau lo sengaja, ya!" itu Farah yang berseru marah. Tangannya sudah terkepal erat di samping tubuh.
"Gue sengaja?" Mutia menunjuk dirinya sendiri, lalu mendengus. "Lo pikun? Bukannya lo yang tadi berusaha ngebuat gue jatuh dengan melintangkan kaki lo saat gue lewat?" tanya Mutia tidak terima. Jelas sekali Mutia tidak mau mengalah.
"Jadi lo nyalahin gue, gitu?!"
Mutia mengangkat bahunya dengan santai, seolah di depannya Farah sedang bertanya ringan. "Gue nggak nuduh. Itu fakta. Semua orang juga tau kali siapa yang salah. Nggak percaya? Tanya teman-teman lo, tuh." dia menunjuk meja yang diisi teman-teman Farah dengan dagu.
Farah semakin menggeram marah. Kedua tangannya lalu terangkat, menjambak rambut Mutia. Tidak mau kalah, Mutia pun melakukan hal yang sama. Belum sampai sepuluh menitan, tapi apa yang diucapkan Ivy sudah terjadi.
Hana melihat sekitar. Siswa-siswi sibuk berteriak, menyerukan nama Mutia dan Farah, seolah menyemangati jagoan masing-masing. Tidak ada yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini. Teman-teman Farah juga terlihat tidak peduli. Mereka santai sekali menyendokkan makanan sembari memperhatikan apa yang terjadi. Sepertinya mereka tidak mau terlibat.
"Nggak ada yang mau misahin mereka, nih?" tanya Hana pada Ivy yang sejak tadi gigit jari. Hana tahu Ivy cemas jika perkelahian itu tidak segera dihentikan, maka sesuatu yang buruk akan terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope [FIN]
Novela Juvenil-s e l e s a i- Klise. Ini kisah tentang seorang siswi bernama Hana. Cewek yang selalu ditindas oleh orang yang dulunya menjadi temannya sendiri. Namun cewek yang satu ini selalu menguatkan diri dalam mengadapi semuanya, sampai pada akhirnya ia ber...