31. Panik

306 19 0
                                    

"Na! Gue dengar lo labrak si Farah, ya?!" tanya Monic di seberang telepon dengan nada membentak. Jelas sekali menggambarkan kalau sepupunya itu sedang marah saat ini.

Hana meringis pelan seraya menutup pintu mobilnya. "Maaf, Moon, aku khilaf...." gadis itu berkata, sementara kedua kakinya melangkah menuju pintu sebuah rumah yang sebelumnya pernah didatanginya beberapa kali.

"Lo sadar nggak sih, siapa yang sedang lo labrak?!"

Lagi, Hana hanya bisa bisa meringis. "Maaf, Moon, aku benar-benar kesal banget sama Farah. Dia itu udah—"

"Na, dengerin gue..." Monic menyela. "Gue tau lo peduli sama Mutia dan gue juga tau kalo lo nggak suka sama sikap Farah yang semena-mena, tapi... lo jangan mudah tersulut emosi juga dong, Na! Besok-besok, lo nggak boleh ceroboh kaya gini lagi. Marah boleh, tapi nggak bertindak bodoh kaya gini juga. Jangan biarin dia nganggap remeh lo, Na...."

Hana menghela napas, melirik jam tangan yang saat ini menunjukkan pukul 5 sore, lalu mengulurkan tangannya yang bebas untuk menekan bel rumah.

"Na, lo lagi di rumah kan, sekarang?"

"Ha? Oh, nggak, Moon. Aku lagi di depan rumah Rei sekarang."

"Ngapain?" Monic bertanya bingung.

Hana mengangkat bahu, menatap ujung sepatunya yang ia ketukan ke lantai. "Nggak tau. Tuh, orang emang nggak jelas. Bisanya cuma nyuruh-nyuruh aja!" sungut Hana tanpa sadar.

"Siapa yang nggak jelas?"

Hana terkesiap pelan. Perlahan ia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum cengengesan. "Eh, hai, Rei..."

Rei melipat tangannya di depan dada, menatap Hana tajam. "Coba ulangi ucapan lo barusan?"

"Yang mana, ya?" Hana bertanya, pura-pura bodoh.

Rei berdecih. "Dasar!"

Hana terkekeh, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah setelah Rei menepi memberi jalan.

"Jadi, kamu ngapain nyuruh aku ke sini, Rei?" Hana bertanya, memasukkan ponselnya ke dalam sling bag, setelah sebelumnya memutuskan sambungan telepon dengan Monic.

"Ada, deh..." sahut Rei, sok misterius. "Lo tunggu di sana dulu, ya, gue mau ambil buku dulu di kamar."

Hana mengangguk mengerti, berjalan ke arah yang tadi ditunjuk Rei. Ruang tamu.

Setelah melihat beberapa figura foto yang terpajang di dinding dengan pandangan tertarik, Rei akhirnya datang. Cowok itu menghempaskan dua buah buku beserta pena yang dibawanya ke atas meja bundar yang di kelilingi oleh sofa bewarna abu-abu.

Hana mengerutkan dahi, berjalan mendekati Rei. "Kamu mau belajar, Rei?"

Rei mengabaikan pertanyaan Hana dan berkata, "Hari ini gue nggak nyatat materi pelajaran Biologi karena terlalu banyak, jadi, gue mutusin buat minjam catatan Nico untuk disalin di rumah. Berhubung hari ini gue capek banget habis latihan basket, lo mau kan, Na, catatin itu buat gue?"

Hana mendengus. "Dasar diktator!" Hardik gadis itu pelan.

Rei hanya tersenyum kecil sebelum duduk di atas sofa, bersandar dengan nyaman. "Nulisnya yang rapi ya, Na, soalnya guru Biologi gue itu suka ngomel nggak jelas kalo liat tulisan jelek."

Dengan tidak ikhlas Hana bergumam mengerti, duduk di atas karpet, dan mulai mencatat. Sebelum itu, ia dibuat kaget setengah mati melihat betapa banyaknya catatan yang harus ia catat. Rei benar-benar tidak tanggung-tanggungnya menyuruh Hana ini-itu. Tidak peduli apakah Hana mampu atau tidak.

Kesal? Tentu saja.

Namun, bagaimanapun Hana bersumpah serapah dalam hati, ia tetap tidak bisa menolak karena kesepakatan bodoh itu.

Hope [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang