Untuk kesekian kalinya, Lisa kembali menghela napas gusar, lalu berdecak. "Tega banget sih, tuh, orang!"
Hana meringis mendengar makian Lisa yang sudah berlangsung sejak beberapa menit yang lalu, sementara Monic hanya memutat bola matanya sambil mengembuskan napas lelah.
Mengabaikan Lisa yang sekarang terlihat asyik mengoceh sendiri, pandangan Hana malah tertuju ke luar, menembus beningnya jendela balkon. Langit di luar ternyata sudah gelap, tanpa ada bintang gemintang yang menghiasinya. Sepi.
Malam ini Hana sedang berada di kamar Monic, berniat menginap. Begitu pun dengan Lisa.
Hana mendesah pelan. Sudah dua hari berlalu semenjak kejadian Mutia terkunci di bilik toilet, Hana masih saja belum memiliki kesempatan untuk pergi ke rumah sakit, menjenguk Mutia. Ia saat ini sedang sibuk membuat laporan untuk diserahkan kepada kepala sekolah.
Saat itu, Hana dan Rei memutuskan untuk tidak masuk sekolah, setelah sebelumnya memberitahu wali kelas masing-masing. Dan ketika ibu Mutia masuk ke dalam ruang perawatan Mutia, Hana menceritakan segala yang diketahuinya. Ibu Mutia juga sempat mengatakan sesuatu saat itu, yang membuat Hana cukup terkejut. Ternyata, hari di mana Mutia terkunci, Mutia mengirim pesan kepada ibunya, mengatakan kalau ia akan menginap di rumah teman sambil mengerjakan tugas.
Setahu Hana, Mutia bukanlah tipe orang yang suka menginap di rumah orang lain, meski dalam keadaan terpaksa sekalipun. Dan Hana jadi mengerti kenapa tidak ada pihak keluarga yang berusaha mencari Mutia. Ponsel gadis itu dibajak.
Namun, dari sekian banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh ibu Mutia, ada satu yang tidak bisa dijawabnya.
Apa selama di sekolah Mutia sering dikerjai?
Sungguh, mulut Hana seolah terkunci. Ia tidak sanggup menjawab "iya" mengingat betapa sedihnya ibu Mutia ketika mendengar satu kata itu nantinya.
Selain itu, selama dua hari itu, Hana juga belum bertemu dengan Ivy. Ponsel gadis itu pun selalu tidak aktif ketika ia menelepon. Dan kemarin, saat di toilet, Hana tidak sengaja bertemu dengan Farah saat ia sedang mencuci tangan di wastafel. Mereka sempat berbicang sebentar. Hana sendiri bahkan masih ingat dengan jelas setiap kata, ekspresi, hingga pergerakan yang Farah lakukan.
"Bagaimana kabar teman lo? Apa dia masih hidup?" Farah mulai berbicara saat keadaan toilet lengang, hanya tinggal mereka berdua.
"Itu perbuatan kamu, kan?" tuding Hana, menatap tajam Farah lewat kaca toilet.
Farah terkekeh pelan, bersandar pada dinding wastafel. "Kalau iya, kenapa? Bukannya lo yang bilang sendiri kalau gue boleh melakukan apa pun yang gue inginkan sekarang? Lo lupa?"
"Apa kamu tidak punya otak dan hati? Kamu tega-teganya mengunci Mutia selama berjam-jam dalam keadaan tubuh yang basah kuyup. Apa kamu tidak berpikir kalau perbuatan kamu itu bisa membuat orang lain celaka?"
"Lo benar. Gue memang nggak punya hati, tapi gue punya otak. Karena gue punya otak makanya gue melakukan hal itu. Orang kayak dia nggak pantas ada di dunia ini. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, perbuatan gue yang kemarin itu nggak jahat-jahat amat, kok. Buktinya dia belum mati, kan?"
Hana menggertakkan giginya, menahan amarah. "Kamu gila?"
Farah mengangkat bahunya. "Lo akan tau siapa gue yang sebenarnya kalau saatnya sudah tiba. Jadi berhati-hatilah mulai sekarang." gadis itu tersenyum miring, lalu pergi meninggalkan Hana sendirian.
Perkataan Farah waktu itu, secara tidak langsung telah memberi Hana peringatan. Hana tidak tahu apa yang ada di otak Farah saat ini. Setahu Hana, Farah berasal dari keluarga baik-baik, jadi, apa yang membuat gadis itu berbuat demikian?

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope [FIN]
Teen Fiction-s e l e s a i- Klise. Ini kisah tentang seorang siswi bernama Hana. Cewek yang selalu ditindas oleh orang yang dulunya menjadi temannya sendiri. Namun cewek yang satu ini selalu menguatkan diri dalam mengadapi semuanya, sampai pada akhirnya ia ber...