Selesai mencatat nama peminjam, tanggal pinjam, dan tanggal pengembalian, penjaga perpustakaan yang sekiranya berumur tiga puluhan itu mengulurkan bukunya pada Hana. "Sepertinya kamu tertarik sekali dengan buku tentang Psikologi, Hana?"
Hana mengangguk, tersenyum malu-malu menerima uluran buku itu.
"Padahal baru beberapa hari yang lalu kamu juga meminjam buku tentang ini, bukan?" tanya penjaga perpustakaan itu lagi sambil tersenyum hangat.
Hana tertawa kecil, merasa sedikiy malu karena wanita di depannya ini ternyata masih mengingat hal itu dengan jelas.
Setelah bercakap-cakap sebentar, akhirnya Hana undur diri, berniat kembali ke kelas. Beberapa menit lagi jam istirahat kedua akan segera habis. Namun, melihat Ivy yang baru akan memasuki perpustakaan, Hana menyapanya sebentar. "Hai, Vy."
Ivy tersenyum. "Minjam buku lagi?"
Hana mengangkat buku di tangannya dengan gerakan patah-patah, malu ketahuan lagi untuk yang kedua kalinya. "Ya, begitulah."
Ivy tertawa kecil. "Oh iya, aku mau memberitahu kalau Mutia sudah keluar dari rumah sakit kemarin sore. Mungkin besok, atau lusa, dia sudah mulai sekolah kembali."
Hana terdiam sebentar. Itu kabar bagus. Setelah hampir satu minggu lamanya Mutia meliburkan diri untuk memulihkan tubuh, juga pikiran, akhirnya besok temannya itu—kalau bisa disebut teman—kembali ke sekolah. Dan selama Mutia tidak masuk, Hana tidak lagi mendengar Farah berbuat ulah. Belum. Sepertinya perempuan itu sengaja menunggu kehadiran Mutia untuk kembali melancarkan rencananya yang ingin mengeluarkan Mutia dari sekolah.
Di samping itu semua, Hana sempat mendengar gosip tentang Farah yang kembali mengganggu Rei. Menempel pada Rei, mengintili cowok itu. Akhir-akhir ini, Hana memang jarang sekali bertemu Rei. Cowok itu sedang sibuk-sibuknya dengan ekskul basket yang dua minggu lagi akan bertanding dengan sekolah tetangga.
Hana mengembuskan napas pelan. Baru saja ia hendak berkata ketika getar ponsel di saku roknya menghentikan. Hana mengeluarkan ponselnya, dan mendapati satu pesan dari Hans yang menyuruhnya untuk pergi ke atap sekolah.
"Kenapa, Na?" tanya Ivy, tampak penasaran.
Hana menggeleng pelan. "Ini, Hans mengajak aku untuk bertemu."
"Hans?" dahi Ivy berkerut. "Untuk apa dia mengajak bertemu?" selidiknya dengan nada tidak suka.
Meski heran dengan tanggapan Ivy, Hana mengangkat bahunya. Ia membalas singkat, "Nggak tau,"
Ivy terlihat menghela napas berat. "Nggak usah temui dia. Lebih baik kamu temani aku cari buku di sini." ucapnya.
Hana tidak punya ide kenapa Ivy seolah melarangnya bertemu Hans. Apakah itu ada hubungannya dengan kejadian waktu di taman belakang perpustakaan atau tidak, Hana tidak tahu. Namun, demi mengetahui kenapa Hans sampai menyuruhnya ke atap, Hana menggeleng pada Ivy. "Maaf, Vy. Mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan Hans."
Ivy berdecak sebentar, lalu mendesah pelan. "Kalau misalkan nanti dia nembak kamu, jangan diterima, ya. Aku nggak setuju kamu sama dia." Ivy berkata serius, tatapannya sedikit menajam. Ada sedikit kecemasan di sana. Entah mencemaskan apa.
Hana menelan ludah. Ia mengangguk patah-patah. Pacaran memang bukan tujuannya saat ini. Ia curiga kalau Ivy ada sesuatu dengan Hans. Ivy terlalu misterius belakangan ini.
"Ya sudah, pergi sana."
Dan sekarang Ivy mengusirnya.
Setelah pamit, Hana segera balik badan, pergi meninggalkan Ivy yang masih menatapnya dengan tatapan yang sama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope [FIN]
Teen Fiction-s e l e s a i- Klise. Ini kisah tentang seorang siswi bernama Hana. Cewek yang selalu ditindas oleh orang yang dulunya menjadi temannya sendiri. Namun cewek yang satu ini selalu menguatkan diri dalam mengadapi semuanya, sampai pada akhirnya ia ber...