Sejak kedatangannya ke kafe ini beberapa menit yang lalu, Hans terus menutup mulutnya rapat-rapat, tidak ingin membuka percakapan dengan seorang gadis cantik yang duduk di hadapannya.
Berbeda dengan Hans yang memilih mengalihkan pandangan ke arah lain—asal jangan ke arah gadis itu, gadis di hadapannya malah terlihat cuek dan santai meminum jus mangga pesanannya.
Rasanya ingin sekali ia memutar waktu agar berjalan lebih cepat, menyelesaikan pertemuan yang tidak mengenakkan ini, pulang, lalu tidur dengan tenang.
Gadis di depannya berdeham, menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Hans pun juga melakukan hal yang sama, menunggu gadis itu mengatakan inti dari pertemuan ini.
Ia sendiri juga heran kenapa gadis itu mengajaknya untuk bertemu, membuatnya ingin mengeluh sekeras-kerasnya. Ingin menolak, namun tidak bisa.
"Sepertinya belakangan ini lo lagi dekat dengan Hana," gadis itu berkata, memecah keheningan. Tatapannya begitu mengintimidasi.
Hans yakin betul, itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan.
Hans bergumam mengiyakan. "Kenapa?"
"Menurut lo, Hana itu orang yang seperti apa?"
Hans mengerutkan dahi, menerka-nerka maksud dari gadis itu. "Dia baik, menyenangkan, dan menarik." ungkap Hans.
Gadis itu lalu tersenyum miring. "Sepertinya tugas ini sangat cocok buat lo. Dari ucapan lo barusan, kayanya lo tertarik sama Hana," katanya lagi, kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Hans menggerutu dalam hati. Sepertinya ia mulai tahu maksud dari pertemuan kali ini. "Jangan bilang, lo mau nyuruh gue buat deketin Hana dan buat dia suka sama gue?" Hans menebak, ekspresinya menunjukan kalau ia sangat enggan melakukan hal tersebut.
Gadis itu mengangguk kecil, memajukan tubuhnya ke depan, lalu tersenyum manis. "Lo memang pintar, seperti biasanya." gadis itu menjulurkan tangannya, menepuk pelan kepala Hans beberapa kali.
Hans berdecak, segera menepis tangan itu. "Gue nggak sudi main-main sama perasaan orang lain," Hans berseru jengkel. "Cari orang lain aja, sana!"
"Gue tau lo suka sama cewek itu, bahkan gue juga tau kalau lo pernah nyelamatin cewek itu dulu. Seharusnya itu bisa menjadi hal yang mudah, bukan?" pancing gadis itu sambil tersenyum meremehkan.
Hans menegang sejenak, terkejut, tidak menyangka kalau gadis di depannya telah memantaunya sejak ia mulai bersekolah di SMP Permata.
Gadis itu menghembuskan napas perlahan, kembali bersandar. "Gue udah tau respon lo pasti akan seperti ini. Tapi setidaknya lo harus ingat hutang budi lo sama bokap gue selama ini, Hans. Orangtua lo udah nggak ada. Uang sekolah, uang apartemen, dan uang untuk kebutuhan sehari-hari lo, itu semua bokap gue yang biayain. Seharusnya lo ingat dan jangan bertingkah lupa diri begini."
Hans menghela napas berat. Gadis di hadapannya ini selalu saja mengungkit soal hutang budi setiap kali ia menolak, padahal Papa gadis itu sendiri sama sekali tidak pernah meminta lebih. Cukup sekolah dengan baik, maka dengan begitu, hutang budinya dianggap lunas.
Tapi, tentu saja, Hans akan sukses suatu hari nanti dan membalas hutang budinya pada keluarga itu. Pasti.
Sekali lagi, Hans menghela napas berat. Diingatkan kembali tentang hutang budi, membuatnya tidak bisa berkutik. Satu kelemahannya yang selalu dimanfaatkan oleh gadis itu.
"Oke, jadi apa yang harus gue lakukan?" Hans bertanya pasrah.
Gadis itu tersenyum penuh kemenangan. "Cukup dekati Hana, habiskan banyak waktu bersamanya, lalu buat dia suka sama lo, setelah itu, tinggalkan dia. Gue ingin... dia juga merasakan kehilangan seperti yang pernah gue rasakan. Mudah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope [FIN]
Ficção Adolescente-s e l e s a i- Klise. Ini kisah tentang seorang siswi bernama Hana. Cewek yang selalu ditindas oleh orang yang dulunya menjadi temannya sendiri. Namun cewek yang satu ini selalu menguatkan diri dalam mengadapi semuanya, sampai pada akhirnya ia ber...