[Vignt-Deux] : Hujan Turun

1.2K 64 8
                                    

"Gue mau ngomong serius sama lo."

Kini Anya tidak lagi fokus dengan makanannya. Tapi kini Anya terfokus dengan apa yang ingin Azka ucapkan. Rasanya cepat-cepat Anya ingin mengetahui apa yang diucapkan oleh Azka.

Tapi di sisi lain, Anya juga belum siap mendengarnya. Entahlah seperti ada firasat aneh yang menelisik pikiran Anya.

"I want to be your boyfriend." Ucap Azka sambil mengulurkan kotak merah kecil berisikan cicin yang sudah tertata rapih di dalamnya.

Anya membulatkan matanya. Anya merasa tidak percaya bahwa kini Azka sedang menembaknya? Rasanya Anya ingin lompat saja dari kapal pesiar ini. Lalu tenggelam di sungai.

Rasa nya benar-benar tidak bisa digambarkan. Antara senang, tidak percaya, malu campur aduk menjadi satu. Sampai-sampai kini Anya tidak sanggup menatap mata Azka.

"Nya? Lo nggak apa-apa 'kan?"

Anya menggeleng.

"Ah sykurlah lo nggak apa-apa, jadi jawabannya?"

Anya hening sebentar memikirkan jawaban yang pantas. Anya takut salah mengambil keputusan.

Anya mengangguk.

"Iya Anya mau Kak."

Azka tersenyum senang mendegar jawaban Anya.

"Lo lucu, mirip sama Kakak lo,"

"Maksud Kak Azka, Kak Eci?"

"Iya Chelsea,"

"Gue yakin saat gue nembak Chelsea nanti, dia bakalan jawab hal yang sama kayak jawaban lo barusan. Jadi, gue nggak perlu khawatir." Anya mendegar baik-baik apa yang diucapkan oleh Azka. Anya tidak salah dengar 'kan?

Jadi maksud Azka apa? Mata Anya kini memanas setelah mencerna baik-baik ucapan Azka barusan.

"Jadi Kak Azka cuma jadiin Anya kelinci percobaan?" Anya menatap Azka dengan tatapan sendu. "Anya fikir Kak Azka salah tentang menilai Anya mirip dengan Kak Eci. Kak Azka salah besar. Mungkin sekarang kalau Kak Eci tau adiknya cuma dijadikan kelinci percobaan, Kak Eci nggak akan dengan mudahnya menerima Kak Azka. Karena apa? Kak Azka terlalu brengsek buat dapetin hatinya Kak Eci,"

Azka tidak menyangka akan jadi serumit ini. Bahkan sebelumnya Azka tidak akan memikirkan bahwa Anya akan terluka seperti ini. Padahal Azka hanya latihan untuk menembak Chelsea. Karena menurut Azka, Anya sangat mirip dengan Chelsea. Tapi ternyata Azka salah besar.

"Makasih udah bawa Anya ke kota ini, kota yang membuktikan sifat buruknya Kak Azka." Anya memberikan senyuman tipis ke arah Azka sebagai ucapan terima kasihnya.

Anya pergi meninggalkan Azka. Sedangkan Azka sudah mencoba menahan Anya untuk tidak pergi.  Tetapi hasilnya kini Anya memilih untuk meninggalkan Azka.

Sesak rasanya. Dijadikan kelinci percobaan saja. Azka fikir perasaan seperti barang? Yang bisa di coba seenaknya? Perasaan tidak selucu itu. Hati perempuan itu harusnya dijaga bukannya dirusak.

Firasat aneh Anya benar. Harusnya tadi Anya mengikuti kata hatinya saja. Anya terlalu bodoh, mana mungkin cowok se-sempurna Azka bisa menyukai Anya begitu saja? Aneh bukan?

Anya fikir saat-saat mendebarkan itu tulus. Tapi nyatanya itu semua palsu. Tidak ada alasan lain selain Azka ingin menjadikan Anya bahan percobaannya saja. Hal yang tidak dapat Anya tahan lagi adalah kenyataan bahwa Anya bahagia selama saat itu terjadi.

****

Arka sedang asik menyantap makan malam bersama Omanya. Walaupun tidak ada Azka dan Anya tapi tidak mengurangi sedikit pun nafsu makan Arka. Sebenarnya ada rasa aneh yang mengganggu Arka. Tapi entahlah, Arka sudah membuang jauh-jauh perasaan itu.

Ponsel Arka berdering tiba-tiba saat Arka sedang asik menyantap makan malamnya.

Nama Anya menghiasi ponsel pintar milik Arka. Membuat Arka cepat-cepat ingin mengangkat telfon dari Anya.

"Kenapa Nya?"

"Arka," teredengar suara sendu dari sebrang sana.

Sepertinya Anya ingin bicara serius dengan Arka. Oleh karena itu Arka menjauh dari meja makan.

"Mau kemana Ka? Makanan kamu belum habis!" Omel Liliana. Karena, Arka main pergi begitu saja saat makanannya belum habis.

Arka menjauhkan ponselnya dari telinga. "Arka mau telfonan sama Anya dulu bentar Oma, nanti makannya Arka lanjut lagi."

Kini posisi Arka sudah aman. Di taman belakang rumah Omanya. Sepi dan tidak ada siapa-siapa.

"Iya kenapa Nya, lanjut,"

Suara isakan tangis terdengar dari ponsel milik Arka. Suara itu berasal dari Anya. Membuat Arka sangat khawatir dengan Anya.

"Nya, lo dimana sekarang?"

"Yang lo bilang itu bener ya Ka?"

Anya menarik nafasnya lalu membuangnya secara kasar.

"Gue seharusnya nggak usah berlebihan kayak gini,"

"Sekarang, saat-saat mendebarkan itu..." Anya mencoba sebisa mungkin untuk menahan isak tangisnya.

"Gue tau kalau semuanya tidak akan pernah sebanding dengan apapun tapi..."

Arka masih tetap diam menyimak ucapan Anya.

"Karena gue bodoh, gue ngelupain semua itu,"

"Gue terlalu asik diajak terbang sampai lupa daratan,"

"Gue rasa, gue bisa gila karena ingin dicintai,"

"Bilang sama gue, Ka!"

"Apa gue benar-benar sebodoh ini?"

"Semuanya begitu kacau," kini Anya tidak bisa menahan isak tangisnya lagi. Anya memecahkan tangisannya.

"Ka, gue nggak punya keyakinan lagi sekarang,"

"Semakin gue memikirkannya, semakin kesal gue jadinya,"

Tut-tut-tut

Terdengar saluran telfon yang terputus. Begitu saja Anya memutuskan telfonnya secara sepihak. Membuat Arka semakin khawatir.

****

Anya duduk di tepi kapal pesiar yang masih setia berlabuh di dermaga. Kapal pesiar ini pun menjadi saksi. Betapa bodohnya Anya.

Hujan turun di kota Paris. Bukan hanya di kota ini yang sedang turun hujan. Di dalam hati Anya pun sedang turun hujan lebat. Bahkan badai menyelimuti hatinya yang hangat.

Anya menutupi kepalanya dengan tas kecilnya. Namun tetap saja tidak bisa menghalangi hujan yang ingin jatuh.

Tiba-tiba hujan tidak lagi membasahi Anya. Padahal hujan masih belum berhenti. Anya mendongakkan kepalanya ke atas. Ah! Benar saja Anya sudah tidak kehujanan. Ada jaket yang menutupi kepala dan menghalangi Anya dari hujan.

Anya menatap siapa pemilik jaket itu. Arka, benar itu Arka yang Anya lihat. Kini Arka sedang tersenyum tipis ke arah Anya.

"Arka?"

"Gue nemuin lo Nya," Arka mengajak Anya singgah dari tempat duduknya.

"Lo benar-benar akan kena hukuman sama gue kalau lo kehujanan dan sakit." Arka memarahi Anya seolah bertingkah seperti Bundanya.

Arka menutupi kepala Anya dengan jaketnya. Lalu Arka eratkan lagi genggamannya. Sampai-sampai kini jarak antara Anya dan Arka sangat berdekatan.

Bahkan kini Arka sudah tidak peduli lagi dengan badannya yang basah kuyup karena kehujanan. Hal terpenting bagi Arka sekarang adalah wanita yang ada di hadapannya sekarang. Jangan sampai tubuhnya terkena rintikan air hujan sedikit pun. Karena hal itu bisa membuat tubuhnya menjadi sakit. Hati saja sudah sakit, masa mau ditambah tubuhnya lagi yang sakit? Begitu sekiranya menurut Arka.

Benar, gue baik-baik aja. Setiap kali gue merasakan kesengsaraan dalam hidup gue. Gue punya sahabat yang berharga yang selalu ada di samping gue. Batin Anya.

AmitiéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang