[Trente-Trois] : Kehilangan

1.2K 69 17
                                    

Lika berlari menuju ruang ICU sambil menangis tersedu-sedu. Sedangkan Bram mencoba menenangkan istrinya. Bagaimana Lika bisa tenang? Anaknya terbujur kaku di dalam ruang ICU.

Hati Lika terasa remuk begitu saja. Saat melihat Anya terbaring lemah di ruang ICU. Air matanya tidak bisa dibendung lagi. Tangis Lika pecah di pelukan Bram. Sungguh Bram juga sangat sedih melihat Anaknya terbujur lemah. Namun Bram sadar, dia kepala keluarga yang harus terlihat kuat di depan istrinya.

"Bun, Kamu kuat harus kuat, kita doakan saja yang terbaik untuk Anya," Ucap Bram menenangkan Lika.

"Aku nggak kuat Mas, kamu lihat kan? Anak kita Mas anak kita, terbaring lemah." Tangis Lika pecah memenuhi koridor ruang ICU.

"Kamu harus kuat, kalau kamu sedih begini, bagaimana Anya bisa cepat pulih?" Bram memeluk erat istrinya, membalai halus rambutnya disusul kecupan kecil di pucuk kepalanya.

Delvin terdiam mematung saat melihat kondisi Anya yang sangat memperhatikan bagi Delvin. Sewaktu Delvin di sekolah, Delvin mendapat kabar bahwa Anya berada di ruang ICU dan keadaannya sedang kritis. Saat detik itu juga Delvin bergegas pergi ke rumah sakit.

Kini yang Delvin lihat adalah, Bunda dan Ayahnya yang terlihat sangat terpukul. Serta pandangan Delvin tertuju kepada Bundanya yang sedang menangis di pelukan Ayahnya. Delvin mendekati Lika dan Bram.

Delvin menjatuhkan bulir air matanya. Delvin menatap nanar Anya dari jendela kaca ruang ICU. Tubuh Anya di penuhi banyak mesin-mesin entah apa namanya Delvin tidak tahu.

Terasa sesak sekali rasanya. Saat melihat Kakaknya yang terbaring lemah tanpa ada pergerakan sedikit pun. Biasanya Anya akan marah-marah kepada Delvin. Memukul Delvin saat Anya kesal. Tapi, tidak untuk kali ini. Anya benar-benar terbaring lemah. Matanya pun enggan untuk dibuka. Kini Anya sedang istirahat panjang yang entah kapan Anya akan menyudahi istirahatnya itu.

"Delvin! Kakak kamu Vin! Anya, Vin!" Lika beralih memeluk Delvin dengan erat sambil menumpahkan tangisannya.

Delvin terdiam kaku, Delvin tidak tahu apa yang harus ia lakukan disaat seperti ini. Delvin masih terlalu terkejut melihat keadaan Anya yang begitu memperhatinkan. Delvin hanya bisa membalas pelukan Bundannya. Lalu perlahan Delvin menenangkan Bundanya.

****

Keluarga dan teman-teman Anya masih setia menunggu di depan ruang ICU. Dengan perasaan yang campur aduk menjadi rata. Sedih, terpukul, terkejut, semuanya rata menjadi satu.

Lika sedari tadi hanya menatap nanar Anya dari jendela kaca ruangan ICU. Kondisi Anya saat ini belum bisa untuk di jenguk dahulu. Karena kondisinya yang belum stabil.

Di sisi lain ada Elvan, Bian, dan Gavin yang ikut menanti keadaan Anya membaik. Dan menunggu kabar Arka yang sampai saat ini belum ditemukan.

Kabar terakhir, Arka tidak ditemukan. Padahal tim sudah bekerja semaksimal mungkin untuk menemukan Arka. Namun, sampai saat ini tim masih belum bisa menemukan Arka.

Semua tatapan beralih menatap ke arah sosok laki-laki yang setengah berlari ke arah ruang ICU. Laki-laki itu terlihat sangat cemas dan khawatir. Semuanya menatapnya dengan tatapan seribu pertanyaan.

"Om? Bagaimana kondisi Anya Om?" Ucap Azka terengah-engah, karena napasnya yang tidak beraturan.

Bram memeluk Azka dengan erat. Tangisnya pun pecah, sejak tadi Bram bertahan sebisa mungkin untuk tidak memecahkan tangisannya. Tapi, tidak untuk kali ini, Bram sudah tidak kuasa lagi menahannya.

"Azka! Lihat Anya! Anya terbujur lemah." Ucap Bram sambil menumpahkan tangisannya di pelukan Azka.

Azka seperti dihantam ribuan beton, tubuhnya terasa lemas. Benar, Kini Azka melihat Anya terbujur lemah tidak berdaya. Azka semakin tidak kuasa melihatnya. Ini semua salah Azka, kalau malam itu tidak terjadi kemungkinan besar hal ini tidak akan menimpa Anya dan Arka.

AmitiéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang