Flame

132 9 0
                                    

Dave terbakar perasaannya. Ia beranjak pergi. Namun, Jess menahannya dengan menarik tangannya, "kembalilah besok."

Dave hanya menatapnya hingga Jess melepas genggamannya. Ia segera pergi sebelum pagi.

***

Dave selalu kembali kesana, setiap malam. Menghabiskan malamnya bersama anak manusia yang menanam persasaan di hatinya dan ia kembali terbenam ketika matahari mulai naik. Kembali menghilang seolah tak pernah ada.

Mereka kembali bersama menertawakan malam, berlari ke arah bulan, menarik bayang dan menatap refleksinya diatas danau, melesat dari gunung dan mendaki dengan kecepatan penuh.

Jess menutup mata, bersandar di punggung Dave yang kokoh, ketika pria itu membawanya ke gunung. Melihat bintang yang menghambur di langit yang gelap, pemandangan malam yang indah di atas gunung. Ia selalu mengingat suhu tubuh Dave yang sedingin udara di musim dingin saat menyentuh kulitnya. Ia seperti butiran salju yang selalu Jess rindukan.

"Ini, luar biasa," Jess terperangah menatap lampu-lampu yang menyala di pemukiman, "seperti bintang." Ia juga melihat danau yang merefleksikan langit yang penuh bintang. Jess merebahkan tubuhnya di atas tanah berumput lebat yang empuk, ia menatap langit. "Bagaimana kalau hari selalu malam?"

Dave menggeleng tersenyum diiringi dengusan sembari beranjak duduk di samping Jess.

"Kenapa? Ini menyenangkan, Dave."

"Kau hanya tahu bagaimana menyenangkan diri."

"Aku hanya ingin hidup damai. Kau tidak merasakan malam begitu tenang?"

Dave turut merebahkan tubuhnya, "tidak."
Jess menatapnya menyelidik.

"Aku tidak tahu kapan aku akan mati. Tapi, aku selalu merasa terancam. Malamku tidak pernah sedamai ketika bersamamu, Jess. Kau tidak tahu berapa luka yang membakar tubuhku? Itu menyakitkan, tapi itu tidak pernah membunuhku."

"Kau tidak akan pernah merasa damai kecuali kau mati."

Dave mendengus, pertanda ucapan Jess benar.
Dave beranjak, ia melangkah menjauh ke rerimbunan pohon.

"Dave, kau mau kemana?" Jess mengikutinya.
"Tetaplah disana!"

Dave merasa luka kutukannya semakin menyakitkan, ia kembali merasa terbakar. Cepat atau lambat Drac akan menemukannya, batinnya. "Aaaaggghhhrrrr!!!" Dave tak dapat menahannya, rasanya semakin parah. Ia pun jatuh.

Jess berlari mendekat.
"Kumohon jangan mendekat!"

Gadis itu tak peduli dengan larangan Dave. Jess tahu tentang luka itu, tanda kutukan itu kembali meradang. Ia segera melihat keadaan luka itu di bahu Dave. Tampak semakin parah, kulitnya membiru, serabut pembuluh darahnya terlihat lebih timbul, warna merah darah mengitari luka itu. Jess segera merapal mantra untuk meredakan sakitnya.

Dave kembali tenang. Tubuhnya terkulai dan gemetar, nafasnya terengah-engah. Jess memeluknya dengan segala kekhawatirannya, "kau akan baik-baik saja, Dave."

***

Tak jarang mereka bersama hingga melewati waktu. Fajar mengawasi jalan mereka pulang. Dave terburu membawa Jess kembali kerumahnya. Gadis itu tertidur di bopongan Dave seperti anak kecil. "Bagaimana bisa kau tertidur di saat seperti ini?" Bisik Dave.

Matahari semakin tampak, pandangan Dave semakin menjadi buta dan kesadarannya menurun. Ia salah menginjak dahan pohon hingga terpeleset dan jatuh.

"Oughrrr," Jess meraba kepalanya yang pening. Ia jatuh di pelukan Dave. "Dave kita terlambat pulang...lagi."

Pria itu tak sadarkan diri. Jess bangkit, meletakan kepala Dave ke pangkuannya sebagai bantalan. "Aku agak takut disini Dave, aku harap hari segera malam."

Burung mulai berkicau, cahaya matahari berkerling di celah-celah rerimbunan daun namun sorotnya tak sampai ke tanah. Rumput dan lumut menjalar di bawah kaki dan batang pohon. Udara sejuk menerobos ke paru-paru.

Jess menikmati waktunya untuk tidur, ia pun bersandar di batang pohon dibelakangnya.

The Cursed Half-bloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang