"15 menit lagi," Ucap pengawas ke seluruh peserta ujian. Bisa dilihat muka mereka semua langsung frustasi.
Nggak heran, pelajaran matematika selalu kerasa jam nya kurang. Mungkin kalian pernah diposisi udah ngikutin rumus dan hitung ulang berkali-kali tapi jawaban kalian stuck disitu aja. Pas lihat pilihan ganda, dan nggak ada yang sama.
Rasanya pengen jadi batu aja.
Baru sedetik pengawas ujian yang merupakan guru olahraga itu keluar ruangan, seisi ruangan langsung heboh saling menanyakan jawaban mereka.
Kakak kelas juga melakukan hal yang sama, karena ngerasa aman jadi kita ikut-ikutan buat melakukan hal berdosa ini dan tidak suci ini.
"Ssst, nomor 19 lo jawabannya B bukan?" Bisik Wahyu.
"Kita kan beda paket, anjir." tukas gue yang langsung dibalas cengiran Wahyu.
Qaren menghela nafas kasar, "gila, ini soal nggak ada yang beres."
"Lo nya aja yang enggak smart, kok nyalahin soal." Cibir Supra. Memang dibanding Supri yang pintar dan selalu ambisius sama nilai, Supra juga pintar cuman dia lebih tengil dan cara ngomongnya pasti punya nada julid di tiap hurufnya.
Curiga Supra ini yang megang akun lambe turah, dan gosip sejenisnya.
"Ya mangkanya ajarin, medit banget lo nggak kaya Supri. Tiati lur, orang medit kuburannya sempit." Protes cewek berambut sebahu kaya dora dan berponi yang bernama Qarenha itu.
"Dih, lo kan nggak minta ajarin. Tapi minta contek kan pasti,"
Qaren yang terpancing langsung nyahut, "yeu suudzon aja lo saringan tahu."
Gue cuma bisa geleng-geleng sambil liat lembar jawaban gue yang masih kurang 7 soal lagi. Karna waktu mepet, mau nggak mau gue jawab dengan jawaban yang mendekati hasil hitung gue tadi.
"Leh, bang Saleh." panggil gue dan bang Saleh noleh, "NAMA GUE SALLY YA ANJIR,"
Gue nyengir, "nomor 8 lo dapat nggak? Kok gue ngitung nggak dapat-dapat padahal udah pake rumus arit-" ucapan gue dipotong.
"Eit, itu geometri. Bukan aritmatika, beda say." Jawab Saleh centil menjiwai peran bang Saleh di upin ipin.
"Oalah geometri kampret,"
"APA INI RIBUT-RIBUT" Sekelas mendadak hening dan suara ribut kertas yang disibakkan muncul sebagai backsound.
"Hmm, kalian pasti nyontek. Dan saya sudah tau itu, kalian tidak bisa menipu saya ferguso. Jangan kira bapak Ceye yang ganteng ini tidak tahu." Pak Ceye nggosok-nggosok kumis tipisnya.
Seketika suasana hening, "saya sudah tahu rencana busuq kalian, karena itu saya keluar dan masuk secara tiba-tiba kaya tadi." Pak Ceye jalan mundur ala Michael Jackson, "kalian tercyduc beibih."
Kita yang kelas 10 rata-rata cuma bisa cengo, padahal tadi dari mapel pertama pengawas yang ternyata pak Ceye ini normal-normal aja.
Yang kelas 11 sepertinya sudah biasa, gue noleh ke kak Tiara yang duduk disamping gue. "Dia guru kita kak?"
Kak Tiara cuma ngangguk pelan seakan terpaksa, "Maklumi aja ya, nanti kalo kelas 11 udah diajar dia pasti memaklumi kok, dia cuma om-om gaje yang suka galau."
"Jadi ini kita dilaporin apa jawabannya diambil kak?" Tanya gue was-was.
"Tenang, pak Ceye ini emang suka mancing, sebenernya dia bisa diajak kompromi dan nggak bakal ngelaporin kita,"
KAMU SEDANG MEMBACA
upnormal teen // kth (revisi)
Fiksi PenggemarKatanya remaja itu fase labil manusia paling berkesan dan penuh frustasi menuju kedewasaan. Tentang teman, keluarga, cita-cita dan perasaan yang membuat lingkup hidup makin ruwet. Bukan cerita bad girl atau bad boy, ini cerita anak sekolahan penyuka...