51 - penat (+info)

1.6K 149 5
                                    

Sejak kecil, Mamah adalah sosok yang berperan besar dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Dari Papah, Mamah lebih serius dalam menanggapi sesuatu, karena itu Mamah suka khawatir berlebihan. Dia pernah bilang, gue yang hidup 16 tahun sebagai anak ini gak akan tahu rasanya khawatir sebagai orang tua. Yang gue tau cuma mau kebebasan ketika dikekang, dan ketika diberi kebebasan malah ingin perhatian.

Katanya, suatu saat gue bakal ngerti gimana rasanya takut anak kita akan ikut hal-hal viral yang gak berguna, terbawa arus pergaulan yang mempengaruhi pola berpikir gue jadi lebih liar, atau bahkan terjerumus rayuan lelaki yang hanya ingin having sex selaku gue anak perempuannya.

Sampai hal kecil pun Mamah akan selalu memberi tahu, dia takut keburu tua dan meninggal tanpa sempat memberi pelajaran mana yang benar dan mana yang salah selaku orang tua.

Dari harus bisa memasak karena itu tugas perempuan, menjadi mandiri, bertanggung jawab sampai membuat jadwal pada setiap aktivitas dan rencana agar hidup tidak terkesan berantakan. Pokoknya yang kayak gitu gak boleh, beli makanan yang kayak gitu gak boleh, semua diberi aturan. Dan gue paham kenapa, karena gue waktu kecil suka nonton redaksi investigasi di trans tv.

Walaupun untuk di poin terakhir gue justru gak jarang jadi keteteran karena keputusan spontan diluar rencana.


Awalnya waktu SD memang gue anak yang teratur, hidup selalu mengikuti aturan. Jujur aja gue cengeng dan kaku. Sampai waktu SMP gue tahu rasanya sesekali break the rule, merasa gaul ketika beberapa kali tidak menjadi orang yang tunduk pada aturan. Rasanya seru, seperti ada euforia tersendiri. Tentu saja gak terlampau nakal sampai jadi anak punk atau cabe-cabean fly over.

Kepribadian gue juga sedikit berubah seiring berjalannya waktu, disinilah gue mengenal meme, shit post, dan bad word. Jiwa receh gue juga lahir disini. Mamah gak akan paham, dia cuma mengira semua yang berbau khas anak muda itu aneh-aneh. Ya nggak sepenuhnya salah.

Awalnya gue tipe anak yang pasrah iya iya aja ketika diberi argumen dan perintah, berubah jadi orang yang lebih berani menyuarakan pendapat. Disini gue jadi punya pemikiran kalau sekali-kali santai dan tidak mengacu pada aturan itu tidak apa-apa.

Sore ini, jam di layar ponsel udah menunjukkan pukul lima sore lebih. Tapi Abang belum juga kesini, lingkungan sekolah udah sepi. Pikiran gue udah kalut, ngerasa bertanya-tanya dalam hati. Apa iya, Mamah yang selama ini gue kenal penuh aturan itu.. koruptor?

Dengan mata sembab gue berjalan menuju trotoar dipinggir jalan raya untuk menghentikan satu angkot kode C. Karena angkot itu melewati gang didepan rumah, dan uang sangu gue cuma sisa 5000 aja. Gak akan cukup buat ojol.

"Trisakti ya, Om." Ucap gue pada sang supir sebelum memasuki angkot dan duduk didekat pintu.

"Siap, Neng."

Selama di angkot mata gue tak tertahankan akhirnya netesin air mata, rasanya ingin cepat pulang.

"Loh, Kakaknya kenapa nangis?"

Sontak gue menoleh, ada dua anak SMP, dan seorang ibu paruh baya yang memangku anak kecil dengan banyak plastik belanja. Beberapa plastik bening memperlihatkan isi berupa sayuran dan buah pepaya.

Beberapa detik terdiam saat memandangi wajah mereka satu persatu, "Anu, gakpapa." Dengan tanpa tersenyum, gue mengusap kedua mata.

upnormal teen // kth (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang