Rasanya aneh. Beberapa kali gue ngerasa dipuncak kepasrahan. Pernah dibuli, kena kekerasan fisik, ketemu orang mesum, sampai hampir mati kayak tadi. Anehnya sekarang gue ngerasa baik-baik aja, seakan ada perintah dari otak kalau gue harus kuat, apapun yang terjadi semua akan baik-baik aja.
Padahal cuma luka lecet, tapi tadi Mamah mengomel panjang lebar. Semua udah dijelaskan sama Kak Jiya yang ikut kesini sama Bobby karena bantu bawa motor pulang. Ketika Mamah minta penjelasan lebih lanjut, bagaimana bisa dan apa alasan mereka ngejar, gue memilih diam. Rasanya paling malas kalau membahas kembali masa-masa yang gak gue suka.
Apalagi setelah apa yang Kak Jiya ceritakan. Rasanya kesel tiap liat muka Abang, kurang di didik apalagi sih dia sampai bergaul sama orang gak bener gitu. Udah kayak serial televisi Cinta Cenat Cenut yang diperankan Smash, waktu Rafael dekatin pemeran utama cewek karena dare. Tapi kak Jiya bilang, ini lebih dari itu, Abang dekatin dia supaya dapat keuntungan dalam menyontek dan menyalin tugas. Dasar borokokok, bento, blegades!
Setelah mandi dan sholat gue merebahkan diri di kasur. Kaki rasanya linu karena udah lama nggak dipakai berlari sejauh itu. Setelah apa yang terjadi hari ini, gue bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Walaupun heran kenapa kejadian se-absurd tadi harus gue alami. Barusan, Papah dan Abang sedang membuat laporan ke kantor polisi. Kalau mereka masih diberi kelonggaran, mereka bisa meresahkan lebih banyak orang.
Suara pintu terbuka membuat gue kaget, merutuki diri kenapa tadi lupa dikunci setelah balik dari kamar mandi.
Awalnya gue mengira yang datang itu hanya Mamah. Memang dia, tapi tak sendiri. Ada wajah Qaren di paling depan. Mamah memberi kode kalau ingin membiarkan kita berbincang dikamar.
"Dari mana aja sih?! Kenapa nggak ada jawab wa sama sekali!" Serunya heboh berlari ke arah kasur disusul Amin, Wahyu, dan Bang Saleh.
Gila, mereka ngapain malam-malam kesini sih. Ini terlalu berlebihan ketika faktanya gue cuma luka ringan karena nyusruk.
"Duh, kan hapenya mati. Kalo hidup juga udah nelpon," jelas gue. "Kalian harusnya nggak usah repot-repot kesini tau nggak? Bikin gue jadi nggak enak aja,"
Mata gue jadi berair tanpa sengaja. Mereka berempat duduk dipinggiran kasur mengelilingi.
"Kenapa pake nggak enak? Emang kita makanan?" Amin bersuara.
"Kalian tuh kenapa sih, suka banget bikin orang terharu. Gue suka banget ngusilin kalian, ngatain kalian kalau dikelas, bahkan sebagai temen gue nggak sebaik itu sampai pantes dijenguk padahal cuma luka ringan gini," dumel gue sambil menggosok mata.
"Ahelah, gitu doang. Wahyu, Supra, Avin, Arga lebih parah tau nggak. Biar gitu, kita tetep temen. Malah gue nganggap kalian udah kayak keluarga," ucap Bang Saleh. Padahal sedang ada masalah, tapi masih menyempatkan diri kesini.
"Lha? Kok gue?!" Protes Wahyu menautkan alis. "Gue ini siswa paling good attitude dikelas tau nggak?"
"Ew, yang paling rese yang bener." Cibir Qaren.
"Lo tuh, gelagat sok anteng padahal mulut pedes!" Tukas Wahyu sebal. Menyebabkan Qaren terpancing emosi jadi meninju lengannya.
"Hajar aja, emang suka kurang ajar dia." Sahut Bang Saleh.
Melihat perdebatan mereka membuat gue tersenyum samar. Keributan ini mungkin akan selalu gue rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
upnormal teen // kth (revisi)
FanficKatanya remaja itu fase labil manusia paling berkesan dan penuh frustasi menuju kedewasaan. Tentang teman, keluarga, cita-cita dan perasaan yang membuat lingkup hidup makin ruwet. Bukan cerita bad girl atau bad boy, ini cerita anak sekolahan penyuka...