Part 1 Kehamilan Yanti.

96 2 6
                                    

Dua pasangan muda, tengah menikmati buah pernikahan mereka, dokter sudah memeriksa hasil janinnya jika itu adalah, seorang anak laki - laki. Kota Solo, nampak indah juga hari ini, menyambut adanya calon penduduk barunya nanti, Yanti mengelus perutnya sudah membesar, dengan tersenyum memandang yang kala itu, masih banyak orang yang bersepeda di jalanan, dan lalu - lalang mobil tidak banyak, seperti ikon dalam kota tersebut juga, Solo berseri.

            Yanti seorang gadis yang, pada saat pandangan pertama, langsung dinikahi Nano, karena wajahnya yang manis, dan tutur katanya yang lembut, laki - laki mana yang tidak menolak, meskipun keduanya adalah orang yang sederhana, dan rumah merekapun juga sederhana.

         "Koe, mau berikan nama apa nanti....", ? Nano yang baru saja keluar dari kamarnya, untuk berangkat kerja, bertanya sambil memeluk mesra istrinya yang tengah memaksa, dia sosok laki - laki yang memang amat mencintai istrinya.

       "Cobalah, kangmas hitung saja untuk memberikan nama untuknya,
   
       "Aku hanya berharap dia menjadi anak yang baik", Nano bersungut di depan, Yanti, sambil menatap kearah jendela, yang terbuat dari bambu, dan pemandangan rerumputan hijau serta desa yang indah di tempat tinggal mereka.

         Dja bersedekap dan tiba - tiba teringat akan sesuatu yang akan di lakukannya, dia segera keluar dari ruangan tersebut.

         "Oh yah, aku harus segera bergegas untuk ke sawah....", itulah pekerjaan, Nano sehari - harinya, dia adalah seorang petani, yang tiap kalinya dia harus menanam panen, dan jika sudah menguning akan di jual sebagai beras, di sebuah toko, di Kota Solo.

        Kehidupan mereka, memang makmur meskjpun hanyalah sederhana, memperoleh penghasilan tidak berlimpah ruah, tetapi hanya mendapatkan dengan apa yang di perolehnya setiap harinya.

    Kandungan, Yanti sudah memasukki usia kehamilan tujuh belan, semestinya di rumah diadakan acara, untuk nujuh bulan, hal itu biasanya memang sering di lakukan oleh keluarganya di Solo.

         Dengan kulit putihnya, dia memakai daster berwarna cokelat, kala itu juga Yanti kedatangan adik perempuannya Yeni yang kerap kerumahnya untuk mengobrol, dan membawakan bakwan goreng.

          Dan memang rumah, Yanti tidak jauh dengan Yeni, mereka memang dua saudara perempuan, yang akrab meskipun Yeni juga memiliki kakak laki - laki bernama Rahman, namun dia sudah menikah lebih dulu, dan tinggal bersama istrinya di rumah mertuanya.
Yaitu rumah keluarga Anggoro.

          "Sering - seringlah, kamu main kesini, agar aku bisa makan bakwan setiap hari...", Yanti berkata sambil terkekeh pelan.

        "Hussshh.., ora sopan kalau ngono...", Yeni ikut terkekeh pelan.

         "Yang buat kali ini, bukan aku tapi ibu...", dia kemudian menjelaskannya.

          "Aku jadi rindu rumah adikku sayang...", Yanti berkata dengan lembut.

           "Mbak Yanti, ingin pulang kerumah sejenak begitu...", Yeni menatap dirinya dengan memicingkan mata.

          Sejenak, Yanti pergj ke dapur untuk membuatkan minuman, hangat, apalagi cuacanya di desa tempat tinggal Yanti, kadang terasa dingin, namun hari ini tidak begitu dingin.

           "Oh yo, piye jenis kelamin anak mbak...",? Yeni bertanya dari ruang tamu, yang dekat dengan dapur.

          "Laki - laki, waktu dj periksa dokter, sudah jelas terlihat, kami memeriksanya di rumah sakit di Kota, meskipun agak jauh tapi bisa aman pada saat melahirkan....", Yanti bercerita panjang lebar sambil kembali membawa nampan.

     Dan duduk di hadapannya, lagi keduanya mengobrol kembali, ada hal yang ingin sepertinya di katakan oleh Yeni.

         "Tiwi sepupu kita, dia baru saja melahirkan anak perempuan mbak, padahal yang pertama sudah perempuan juga, sepupu - sepupu kita, sangat sulit mendapat anak laki - laki, padahal jika anak pertama laki - laki kelak bisa menjadi pemimpin keluarga...", perkataan panjang lebar Yeni, hingga pada saat dia berpamitan pulang, membuat Yanti terdiam.

        Betapa sebenarnya, kalau di keluarganya, sangat mengharap ada yang bisa memiliki anak pertama adalah laki - laki.

          Pada malam harinya, hal yang di pikirkan tersebut, membuat Yanti susah tidur, dan biasanya dia keluar rumah, dan duduk di kursi bambu yang tergeletak di pinggir sawah, bahkan di bawah pohon.

      Bayangan hitam tiba - tiba saja muncul dari depannya, pada saat menundukkan wajah, kemudian Yanti menoleh dengan cepat, teryata Nano suaminya berdiri di belakangnya.

          "Belum turu thoo...", ? Dia bertanya.

          "Urung mas, aku sedang kepikiran ayah dan ibuku, kalau mas mengizinkan, hanya untuk sehari saja, aku ingin pulang kerumahku besok, aku hanya rindu pada mereka...", Yanti menyampaikan perasaannya kepada Nano, meskipun bukan hanya itu yang di rasakannya.

        "Yah sudah kalau begitu, yah kalau perempuan hamil, memang kadang manja..", Nano terkekeh sambil melihat pemandangan.

        "Mas, jika kita sering melihat pemandangan begini, apakah mungkin, anak kita nanti akan melakukan yang sama, penyuka alam bebas, seakan menatap dunia yang luas, seperti kita...",, ? Yanti bertanya sambil menoleh kearah Nano.

          "Karena orang tuamu seorang seniman, kamu berkata demikian...", Nano menimpali
Dan memang Hardi ayah Yanti adalah seorang pengajar Tari di kampung mereka, meskipun Galuh ibunya tidak.

           Keluarga Handoyo, adalah pihak dari keluarga Yanti, yang salah satunya, memiliki jiwa seni yaitu, ayah Yanti, dan ini menurunkan juga bakatnya kepada Yanti, yaitu menari, namun dia tidak ada biaya untuk kuliah, dan Yanti hanya bisa meneruskan pendidikannya sampai tamat SMA.

          Namun pada saat menikah dengan Nano, teryata dia juga Supratno keluarganya, dan ayahnya Gigih adalah seorang, petani sawah, dan Sekar ibunya hanya ibu rumah tangga.

           Kehidupan mereka, sama - sama mengalami masa ekonomi yang sulit, bukan hanya dari diri mereka berkehidupan dalam pernikahan saja, tetapi juga dalam kedua belah pihak keluarga mereka masing - masing.

Keesokan harinya, Yanti sedang berada di rumahnya, dia semenjak hamil sedang senang mengemil makanan, yah begitulah kelakuan orang hamil, kadang ada rasa ingin memakan sesuatu, dan terkadang Yanti sering mengidam juga, dia ingin makan bakmi toprak yang di jual di warung dekat rumah mereka.

       "Bimo, sepupu kamu baru saja punya anak laki - laki, tetapi hanya Bimo, dan itupun anak kedua, keluarga kita laki - lakinya, hanya sebagian kecil, semua banyak yang memiliki justru anak perempuan seratus persennya....", Galuh bercerita panjang lebar.

      Bimo adalah sepupu Yanti, yang paling tua di keluarga mereka, dia mengambil satu lagi makanan di dalam toples sambil mendengar celoteh ibunya, yang tidak berhenti.

       "Jadi kelahiran anak inj, kalian memang menunggunya...", Yanti akhirnya memberikan respon dan Galuh hanya mengangguk

       "Mbak, Yanti diluar ada mbak Darmi yang biasa, berjualan jamu, mau beli tidak..", ? Yeni tiba - tiba saja menawarkan dirinya, sambil berdiri di ambang pintu kamar.

     Dan si penjual jamu tersebut, memang sering terlihat duduk persis di bawah jendela rumahnya tepatnya di kamar Galuh.

       "Ada beras kencur...", ? Yanti menengok.

        "Tidak baik untuk orang hamil, yang lain saja...", Yeni menyahut sambil menasehati.

         "Yah aku beli yang lain saja kalau begitu", akhirnya Yanti mengiyakan.

EKA Proses PenerbitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang