Part 3 Si Hati Malaikat.

20 1 0
                                    

Tahun demi tahun, terus berganti kini usia Eka, sudah menginjak sepuluh tahun, dia sudah menunjukkan sifatnya sebagai sosok yang berhati malaikat, di kala dia sudah memiliki teman dan sudah mulai bersekolah SD, Eka yang duduk di kelas empat SD, menjadi anak yang beruntung memiliki banyak sahabat, bahkan sahabatnya, benar - benar sangat terasa nyaman di dekat Eka, dan anak sekecil dia, sudah berpikiran lebih dewasa, daripada umurnya, kerap kali Eka, sering menasehati sahabatnya, dan entah bagaimana, mereka semua setuju terhadap Eka.

Umur Yanti dan Nanopun, semakin bertambah, tua dan pekerjaan Nano di sawah, sudah mulai kadang mengalami kesulitan, ketika tahun terus berubah, padi yang dijualnya di Kota terkadang tidak laku, alhasil jika belum memperoleh uang, mereka hanya makan nasi dengan tempe saja, namun biarpun begitu, Eka tetap mensyukuri adanya keluarga kecil dirinya, bahkan dia menunjukkan kalau dia adalah anak yang kuat, dan tetap berpikir positif.

Sahabat terdekat Eka adalah Andi, Fajar dan Darmo mereka yang sering menceritakan tentang perasaan yang di rasakannya kepada teman lainnya, bahkan keluarganya.

Kala itu di pada saat istirahat sekolah, Fajar adalan seorang anak yang sering di ledek oleh teman - teman lainnya, karena dia tidak pernah memiliki uang untuk jajan di kantin, dan pada saat Fajar nampak muram duduk kursi pinggir kelas.

"Kamu kenapa Fajar...", ? Eka bertanya dengan ramah, sambil memperlihatkan senyum kehangatannya, sambil duduk di sebelahnya.

"Mereka meledekku lagi, mereka bilang aku miskin dan menyusahkan orang lain karena tidak punya modal", Fajar menjawab dengan polosnya, Eka lalu mengelus bahunya dia mulai akan menashatinya.

"Jangan dengarkan apa kata orang, peduli setan tentang dirimu, kalau kamu mau makan, aku masih punya sisa uang, ambilah....", itulah sifat Eka salah satunya, adalah murah memberi kepada orang lain meskipun tidak mengharap imbalan.

"Untuk kamu saja ka....", Fajar menolak dengan halus.

"Wes ora opo - opo, kalau tidak kita jajan bersama saja...", Eka membujuk dirinya, Fajar sebenarnya masih terperanga dengan sifat Eka, yang memang benar - benar baik hati.

Tuhan, melahirkan dirinya, seolah dia adalah jelmaan seorang malaikat, hatinya benar - benar seakan tidak ada noda, sedikit saja.

Dia bukan lagi orang yang pantas disebut seorang sahabat, melainkan saudara, Fajar masih memirkan anak yang meledek dirinya, tetapi Eka dengan bijak berbisik jangan memikirkan lagi dirinya.

Pada saat yang bersamaan, Andi dan Darmo, menghampiri mereka, dan ikut duduk bersama, sambil mengobrol dan tertawa, tidak manusia yang bisa mengalami kehangatan tidak biasa selajn Eka, begitupun mereka sebaliknya

"Hai Eka....", mereka menyapa dengan polos seperti anak - anak lainnya.

"Hai Darmo",

"Hai Andi", Eka membalasnya satu demi satu, tawanya yang ceria tergambar dari bibirnya,

"Aku mau pesan Indomie saja ahh", Andi berguman sendiri dan berjalan kearah gerobak makanan.

"Mas, indomie dua yang satu pakai telur saja....", Andi memesan kepada penjual tersebut.

"Kamu tidak mau dengan memakai telur saja...", ? Andi bertanya sambil menatap kearah, Eka.

"Kamu mau dengan telur, kamu saja yang pakai....", Eka merendah di depan Andi, dan ketiga sahabat Eka, melihat sifat Eka, yang benar - benar memang, dia adalah sosok yang hatinya sama sekali tidak pernah ada sedikitpun negatif.

"Hidup kadang, memang seperti itu, mereka yang tidak pernah melihat, apa yang ada dalam diri kita selalu saja banyak bicara dulu, dan menilai orang lain dari luarnya saja, dan semua terjadi karena terlalu banyak berpikir negatif dulu..., tetapi lebih baik kita berpikir positif saja...", Eka berkata panjang lebar.

"Kamu dewasa juga teryata..", Darmo berbisik, dan tidak lama kemudian, terdengar suara bel sekolah mulai berbunyi.

Anak - anak langsung, berhamburan masuk ke dalam kelas masing - masing dan hari ini di kelas Eka, mata pelajaran kedua adalah Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran ini yang amat disukai oleh Eka, karena Eka suka pada PR dari Pak Kurdi yang selalu memberikannya untuk membuat cerita pendek, meskipun dari keluarganya, seni yang menurun dari orang tua Eka adalah padahal seni tari, namun justru yang disukai oleh Eka adalah menulis, meskipun dia juga pandai menari, tetapi Eka lebih menyukai menulis.

Pak Kurdi, sebelum dia memulai mata pelajarannya, dia memanggil Eka untuk membacakan puisi dari Khairil Anwar, dan Eka membacakannya dia sangat bagus dari situlah terlihat memang Eka juga memiliki bakat menulis meskipun dia pandai menari, bahkan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, selalu bagus.

"Bagus sekali kamu Eka, kamu pasti akan mendapat nilai bagus lagi...", Pak Kurdi memuji dirinya.

"Kamu adalah anak paling beruntung, yang pasti akan mendapat sesuatu hal yang paling terindah...", Pak Kurdi menambahkan lagi kata - katanya.

"Terima kasih pak", Eka mengucapkannya dengan hormat, kemudian mencium tangan Pak Kurdi sambil kembali ke tempat duduknya.

Malam harinya....

Eka mulai membuka bukunya untuk mengerjakan PR dari sekolahnya, dan dirumah nampak terdengar suara Yanti dan Nano tengah berbisik mengobrol akan sesuatu, namun Eka yang lagi ingin serius belajar tidak memperdulikannya.

"Nak.., ayo makan", kali ini terdengar Yanti memanggil dirinya, dan Eka langsung menemui sejenak Yanti serta Nano.

Mereka duduk di meja makan, sambil menikmati hidangan yang sederhana diatas meja meskipun hanya ada tahu dan tempe tapi mereka bahagia.

"Bagaimana teman - temanmu di sekolah", ? Yanti bertanya dengan perhatian kepadanya.

"Mereka baik", jawab Eka.

"Aku baru saja mengerjakan PR.....", Eka bercerita dengan polosnya.

"Rajinnya anak bapak dan ibu....", Nano berkata sambil memperlihatkan senyuman bangga terhadap anaknya.

"Terima kasih pak", Eka tersenyum sambil mengangguk, baru saja selesai makan, Fajar terdengar suaranya dari luar dia memanggil Eka dari pintu rumahnya, dan Eka langsumg membuka pintu untuk mempersilahkan dirinya masuk.

         "Aku ingin mengajak kamu, untuk mengerjakan PR cerita pendek bersama", Fajar berkata dengan polosnya, dan Eka mengangguk setuju, lalu kedua anak itu masuk ke dalam kamar, Yanti dan Nano tersenyum saling berpandangan.

          "Untung saja mas, Eka tidak mendengar pembicaraan kita, mengenai apakah aku bisa hamil lagi, dan kita baru dari rumah sakit tempat aku melahirkan dulu, mas tahu sifatnya semakin hari, semakin jelas menunjukkan siapa dirinya di masa depan....", Yanti bicara panjang lebar.

           "Aku sudah merasakannya, sejak dia masih bayi juga,.., dan Eka juga terlihat agak berbeda memang dari lainnya, tetapi yah aku hanya sedikit takut dengan kejiwaannya, namun sepertinya dja anak yang memiliki banyak teman....", Nano bercerita panjang lebar.

           "Yah Eka mulai suka membaca waktu umur sembilan tahun, aku masih ingat benar dia minta buku anak - anak tetapi kita tidak mampu untuk membelinya, yang akhirnya dia meminjam temannya..., bagiku itu tidak masalah tandanya anak kita cerdas, lihatlah sudah jelas dia punya banyak teman...", Yanti mengiyakan kata - kata Nano.

        "Lagipula, hari ini sebenarnya hasil panenku tidak laku lagi, dan untuk membeli tempe tahu aku beruntang pada Yardi, temanku sesok tak kembalikan uangnya, jika laku di pasar...", Nano terdengar mengeluh.

EKA Proses PenerbitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang