Part 17 Kelas Dua SMP

3 0 0
                                    

Usia sekarang juga sudah menginjak tiga belas tahun, di kelas dua SMP ini, dan tubuhnya sudah semakin tinggi, sifatnya sudah semakin menunjukkan kedewasaan dirinya, walau tingkahnya masih juga seperti remaja,

Karena Indah sekarang satu kelas dengannya, bahkan satu bangku dengannya, perasaan lama Indah kepada Eka, semakin berbunga dihatinya.

   Di pagi itu, Eka mulai sibuk di hadapan cermjn, sambjl menyisir rambutnya dan membelah samping kearah kanan belahan rambutnya, kemudian merapikan seragam sekolahnya, sambil berjalan keluar, nampak Diki yang baru dua tahun itu, bermajn mobil - mobilan dari bambu di ruang Tv, dengan asyik.

      "Diki, kamu sudah makan belum..." , ? Eka bertanya dari arah kursi meja makannya.

      "Utah, mas...", dia menjawab dengan bahasa yang tidak jelas, karena baru saja belajar bicara, dan Eka tertawa pelan mendengar suaranya bicara.

      "Kamu terlihat sudah lebih dewasa sekarang, bisa ngemong adikmu...", Yanti mengajak bicara Eka.

     "Usia, bisa berapa saja, kamu tiga belas tahun, tapi pikiranmu sudah melebihi dari usiamu, bagus nak..", Nano menimpali, dan terlhat sudah usia Yanti dan Nano sudah semakin menua, walau belum terlihat ada kerutan di wajahnya.

    "Di kelas dua ini, aku diangkat sebagai anggota Osis, itupun juga sebenarnya untuk aku bukan hal yang luar biasa, walau sebagai sesi mading sekalipun....", Eka bercerita panjang lebar.

     "Sikapmu dari dulu memang merendah.....", Yanti memuji dirinya.

Di tempat yang berbeda, nampak Indah mondar - mandir, menunggu Eka di lorong sekolah, sambil mengenakan tas selempang berwarna cokelatnya, sejenak dia membukanya dan melihat buku di dalamnya yang judulnya Fear Street, dan tiba - tiba saja ada anak laki - laki yang berlari dan tanpa sengaja menjatuhkan bukunya, Indah nampak geram memandang dirinya.

   "Hehhh, koe tuh punya mata opo oraaa..., untung wae ini buku ora opo - opo....", !! Dia memekik sambil membersihkan debu di sampulnya.

   "Yooo maaf...", dia meminta maaf sambil melanjutkan langkah kakinya, sambil berlari kecil pada saat anak itu berlalu dan menghilang dari tempat itu, sekarang yang sudah ditunggunya sejak tadi, telah muncul di hadapannya, Indah memasang senyuman kepadanya dan memberikan novel itu padanya.

    "Aku sudah bilang padamu, jika kamu suka aku akan meminjamkan yang lain...", Indah berkata kepadanya.

    "Aku nanti istirahat, mau ke perpustakaan, mengembalikan buku yang kemarin, dan terima kasih....", Eka mengangguk menghormati dirinya.

    "Kamu berangkat jam berapa tadi pagi...", ? Indah mulai membalikkan tubuhnya untuk jalan masuk ke dalam kelas bersamanya.

     "Aku berangkat jam lima subuh..., setengah lima malah, kalau tidak begitu, aku tidak dapat kendaraan...", Eka bercerita padanya.

      "Yah rumahmu memang jauh dari sini....", Indah membenarkan, dan tiba saatnya bel terdengar berbunyi.

   Seorang guru, bernama Bu Risma, masuk ke dalam kelas, dan dia mengajar mata pelajaran Sejarah untuk jam pertama, dan seperti biasanya di mata pelajaran itu, pasti akan memberikan catatan yang banyak sebagai tugasnya, dan akan dikumpulkan nanti pada minggu depan, setelah selesai jam mata pelajaran pertama, jam istirahat yang pasti ditunggu semua murid pada akhirnya juga tiba.

    Eka mengembalikan buku yang baru di pinjamnya, di rak sambil ditemani oleh Indah, dia berdiri disamping kanannya dan keluar ruangan tersebut bersama Eka.

        "Kamu tahu sedikitnya nasehat yang kamu berikan itu cukup melegakan diriku, yah kadang aku memang dirumah hanya butuh teman untuk banyak bicara, dan kamu tahu aku hanya bisa banyak bicara jika dengan teman - temanku, karena itu aku berkesan tukang banyak bicara, dan bawel....", Indah bercerita panjang lebar.

        "Di setiap hati manusia pasti ada rasa sisi kesepian, namun sebenarnya itu hanya perasaannya saja, karena rasa kesepian itu akan berubah, disaat kita tidak merasakannya, masalahnya mungkin bukan karena orang tuamu sedang bekerja, tapi waktu untuk mengobrolnya sedang tidak tepat, ditambah sudah pasti adik laki - lakimu sering main keluar rumah juga...", Eka menanggapinya dengan bijak.

    "Jangan terlalu larut dengan perasaanmu sendiri yang tidak baik", Eka mulai menasehati lagi Indah.

    "Itu benar, mungkin karena hanya masalah waktu, jujur Eka, kamu itu bijaksana sekali,,", Indah memuji dirinya, dan sekarang sangat terlihat jika menyembunyikan perasaan kepada Eka namun mencoba mengabaikannya.

     "Oh yah, kamu mau lihat buku kumpulan puisiku...", Eka mengambil satu buku di dalam ransel dan memperlihatkannya kepada Indah, dia membacanya satu demi satu dengan terkesima.

      "Hidup ini indah, jika kita merasakannya adalah indah, karena yang membuatnya kejam adalah hanya dari perasaan kita saja,..", Eka berguman sambil memandang langit.

Tanpa terasa, persahabatan antara Indah dan Eka, sangat akrab, namun sama sekali tidam pernah sadar akan perasaan Indah yang sesungguhnya kepada Eka, dia menyukainya karena Eka adalah sosok anak laki - laki yang istimewa bukan sahabatnya.

Tetapi walau begitu, mereka tetap bersahabat dengan akrab, kadang kala Indah hanya merenungi perasaanya sendiri kepada Eka, jika memang cinta itu salah maka dia tidak akan pernah untuk mencintainya, dan lebih memilih untuk jadi sahabat.

EKA Proses PenerbitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang