Part 27 Kebahagiaan Yang Hilang.

8 0 0
                                    

Pada hari minggu itu, Icha menepati janjinya, untuk kerumah Eka, bahkan gadis itupun juga hendak mengajaknya jalan berdua, di siang hari ini, dia mengenakan pakaian kaos berwarna putih serta celana hitam, dan rambutnya di kuncir ke belakang.

     "Sebenarnya, aku ingin juga mengajak kamu, untuk kita jalan berdua...", Icha mengungkapkan perasaan hatinya.

        "Sekedar hanya ke Mall dan makan atau nonton....", Icha memberikan pendapatnya.

    "Teryata itu yah, kebiasaan seorang anak yang tinggal di Jakarta...", Eka memicingkan mata.

    "Memangnya kamu tidak pernah jalan - jalan...", Icha menatap heran Eka.

    "Aku lebih suka, melihat alam seakan mendekatkan diri kepada sang pencipta, di kampung halamanku, indah sekali ditambah udaranya yang sejuk, bahkan pandangan hijau di sekitar,,..". Eka bercerita panjang lebar.

    "Oke, kalau begitu rumahmu punya telepon...", ? Icha bertanya.

     "Belum pasang telepon, nanti aku telepon melalui wartel saja...", Eka menjawab.

           "Oke, tapi kamu tidak keberatan kalau kita, jalan - jalan ke Mal.....", Icha bertanya dengan pertanyaan yang sama, dan Eka akhirnya mengangguk.

     "Oke...", Eka berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan berganti baju dengan kaos warna biru serta celana hitam, dan kembali keluar kamar sambil berpamitan kepada Yanti dan Nano. Dia berdiam diri.

"Bapak, ibu sekedap aku mau pamitan, kalau aku mau jalan dengan Icha....", dia berkata dengan polos.

     "Inggih, mau kemana...", ? Yanti bertanya lebih dulu.
   

    "Mau ke Mall...". Eka berkata sambil mencium tangan mereka, dan berlalu meninggalkan rumah.

Keduanya meninggalkan rumah sambil mengobrol, dan dari sanalah timbul keakraban, Eka memang orang yang mudah akrab dengan siapa saja, meskipun orang yang baru dikenalnya sekalipun.

    "Aku jadi penasaran dengan kampung halamanmu itu, mendengarnya sungguh indah, daripada aku mencari tahu untuk merasakannya ke tempat orang lain..." , Icha bercerita panjang lebar.

    "Aku ingin merasakan keindahan alam, yang bisa aku rasakan itu benar - benar aku meresapinya...", Icha meneruskan kata - katanya.

   "Maksudmu, kamu ingin pergi kesana,..". ? Eka menangkap apa yang ada dalam pikiran Icha dan dengan cepat dia mengangguk.

    "Tentu saja,...", dia langsung mengangguk.

    "Oke..., nanti aku ajak kamu kesana kapan - kapan....", dengan gembira Eka memperlihatkan cengiran khas yang memperlihatkan ginsulnya.

   "Aku baru sadar, jika kamu ginsul....", Icha melihat apa yang ada di dalam mulut Eka, dan dia dengan malu - malu menutup mulutnya.

   "Sudahlah itu manis kok...", Icha mengibaskan tangannya dan terkekeh perlahan.

    "Laki - laki ginsul itu adalah manis, kamu tidak perlu merasa malu...", dia kemudian meneruskan kata - katanya.

      "Awalnya aku keberatan menjadi ginsul, namun teryata jika tidak menjadi jelek, akupun tidak masalah, memangnya apa pandanganmu tentangku...", ? Eka berkata kemudian tersadar oleh sikap barusan Icha dan bertanya, yang dinilai oleh Eka seperti salah tingkah kepadanya.

Akhirnya mereka menelusuri untuk keluar komplek perumahan, dan disana keduanya menunggu bis yang akan berhenti di depan halte.

    "Untung saja belum macet, karena baru jam segini....", Icha berguman pelan.

    "Dan kadang, kalau sudah macet membuat kesal pengendara yang sedang di jalan...", Eka menimpali Icha.

     "Bagaimana kalau kita ke Mall di dekat sini...". Icha kemudian mengusulkan.

     "Boleh saja, disini ada Mall Bsd...", Eka menerima usulannya, dan berapa menit kemudianm bis yang di tunggunya sudah datang.

    Bjs itu akhirnya berhenti, tepat di depan Mall, dan keduanya turun lalu masuk ke dalamnya disana ada banyak toko pakaian serta restoran, lalu Icha menunjuk kearah restoran yang menjual bakso.

        "Kita makan bakso yukk...", Icha menggandeng tangan Eka tanpa sadar, dan keduanya duduk saljng berhadapan di restoran tersebut.
 
   "Eka, menurut kamu memang enak tinggal di kota besar seperti Jakarta, atau di kampung....", ? Icha bertanya dan Eka tersenyum manis sebelum menjawab pertanyaannya.

   "Di kampung aku bisa melihat pemandangan alam, dan jika rindu dengan mbah putri stau eyang kakung, bisa langsung kerumahnya....", Eka menjawab panjang lebar.

    "Rupanya kamu memang sangat mencintai kampung halamanmu, karena ada orang yang kamu sayangi....", Icha memberikan pendapatnya sambil mengaduk kuah bakso dan menyuapnya ke dalam mulut.

     Seharian mereka berjalan - jalan di Mall, dan tanpa sadar hari sudah malam, dan pada saat Eka kembali kerumahnya, dia melihat Yanti sedang terisak di depan Tv, dengan sebuah surat di tangannya yang di genggam olehnya.

      Eka menghampiri dirinya, dan langsung memeluk ibunya, kemudian mengambik surat tersebut terdapat tulisan dari Galuh.

       "Eyang kakung.....", dia berguman pelan dan air matanya menetes, seakan satu demi satu kebahagiaan itu hilang diawali dengan eyang kakungnya yang telah pergi ke pangkuan Tuhan, Yanti tidak bisa berkata apapun kecuali menangis, dan Diki yang menangis Eka segera memeluk adik kesayangannya itu.

     Pagi harinya, Eka terpaksa izin dari sekolahnya untuk pulang kampung dalam waktu beberapa hari ini, untuk menghadiri pemakamannya, dan entah apa yang terjadi dengan keadaan selanjutnya seakan semua pertanda bagi semuanya.

   Karena waktu itu secara bersamaan, Nano yang semakin jelas terlihat perubahannya dia tidak lagi ramah terhadap anak - anaknya bahkan acuh terhadap istrinya, sepertinya dia telah terpikat cinta buta kepada Riris yang cantik tersebut, entah sihir apa yang membuat mata hatinya tertutup oleh keluarganya sendiri.

       Pada suatu hari, Yanti menemui Nano di dalam kamarnya, nampak dia membereskan pakaiannya ke dalam tas.

       "Kamu mau pergi kemana, mas...", ? Dia bertanya.

       "Kelihatannya kamu sudah tidak peduli dengan keluarga lagi....", ! Tegas Yanti.

       "Terserah apa katamu, namun rasanya aku tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini lagi, maaf aku mau pergi....",! Tegas Nano dan meninggalkan kamar tersebut.

        "Pergiiiii sanaaaaaa, dengan wanitaaaaa itu, tapi jangan pernah kembali lagi, kamu lebih baik memilih dia dibanding kamji......", !!! Teriakan Yanti disertai barang yang dilempar olehnya membuat Eka yang baru saja pulang sekolah langsung berlari memeluk Yanti dan Diki yang menangis, kasihan anak kecil itu, dia belum tahu apa - apa, adiknya masih terlalu kecil untuk menerima semua ini.

    Dengan geram, karena Eka yang paling besar, dia bersumpah dengan penuh kebencian terhadap bapaknya sendiri.

        "Jika bapak tidak peduli dengan kita lagi, untuk apa kita peduliii, sungguh akupun tidak peduliiii....., terserah dia mau pergi kemana....", !! Air mata Eka menetes, namun dia berusaha untuk tetap tegar, karena sekarang yang menjaga keluarganya adalah dirinya, meskipun Eka baru lima belas tahun namun dia harus menanggung semuanya.

EKA Proses PenerbitanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang