02. Biasa

4.3K 452 123
                                    

warning: long chapter to introduce you ke-unfaedah-an of the dynamics of Enam Hari (Jaron lagi di luar kota tapi tetep nongol, bisa aja emang si sutet wkwk)

🌸🌸🌸

Liana sedang berjalan sambil melamun ketika tiba-tiba sesosok makhluk jangkung menepuk pundaknya dari belakang. Ia pun terlonjak, sehingga orang yang menepuknya ikut kaget. Lebih kaget, malah.

"Jancuk, kaget."

"Jancuk, eh, asu."

Liana berbalik dan menendang betis si pemuda jangkung nan latah dengan penuh emosi.

"Mulutnya, ya," hardik Liana, tidak berkaca bahwa sendirinya juga barusan mengumpat, "Gue bilangin Bunda lo, ya, Yon."

"Apaan, sih, lu. Jangan main ngadu-ngadu ke Bunda, napa," sungut si pemuda, "Gue bilangin balik ke Jaron, lu."

Mata Liana yang mulanya berapi-api kemudian menjadi lesu. Si pemuda jangkung sudah paham tanpa perlu dijelaskan.

"Ya elah, Li. Bang Jaron doangan dikangenin."

"Heh, Dion dugong," Liana menengadah sambil berkacak pinggang, "Siapa yang kangen Jaron?

"Elo, Bakpo Telooo," si pemuda bernama Dion mencibir sambil mendorong dahi Liana dengan telunjuk, "Dasar bantet."

"Bilang apa lo, barusan?!"

Memang apa yang Dion katakan itu—separuh—benar. Liana terbilang agak pendek dan pipinya agak tembem sehingga Dion memasukkannya dalam kategori bantet. Tapi yang tidak Dion ingat baik-baik adalah, Liana ini atletis dan kakinya panjang. Dengan mudah Liana melayangkan kakinya hingga ujung sepatunya hampir mencapai wajah Dion. Dion berusaha berkelit ke kiri dan ke kanan seperti ninja, tapi kaki Liana masih nyaris mencapainya.

"Kenapa, sih, Jaron mau sama mak lampir kayak lo?" hina Dion.

Liana sudah siap menendang Dion lagi, tapi Dion sudah memperhitungkan jarak yang harus diambilnya untuk menghindari kaki Liana jika tendangannya melesat dalam 60, 90, hingga 180 derajat. Liana pun gagal (Eit, gak kena! Gak kena! Etetet! Meleset!) dan Dion berselebrasi.

"Pergi sana lo," usir Liana akhirnya, sudah lelah.

"Emang kampus punya mbahmu?" tantang Dion, "Gak disuruh juga gue pergi, mau bimbingan."

"Awas kualat ama gue, ntar Bab 3 skripsi lo gak di acc."

Dion menggeleng-geleng dengan tangan di dada.

"Astaghfirullah, Saudari. Sesungguhnya perkataan adalah doa, dan Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya."

"Gak nyambung," rutuk Liana, ingin mengumpat atau minimal berkata kasar tapi seketika ingat pada Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Mendengar.

Dion menutup kedua tangannya dalam genggaman, seperti teller bank yang menyambut nasabah baru, "Nih, ya, Bakpo Telo—"

"Kenapa lo masih manggil gue Bakpo Telo, sih? Rambut gue udah gak ungu kayak ubi." potong Liana memprotes, "Nih, ijo."

Gak mau dikatain tapi masih ngatain gue. Si sesembak buntelan ubi emang semenjak dicemari Bang Jaron jadi resek, Dion. Untung lu orang baik. Sabar, sabar. Jangan ngatain lagi. Tahan. Kata Bunda, gak baik menimba emosi, Dion berusaha bernegosiasi dengan dirinya sendiri.

"Jadi..." Dion melanjutkan tanpa mempedulikan protes Liana, "Gue tadi nepok lo dari belakang soalnya gue takut salah orang, Ubi. Gue kira lo gak ngampus, eh, gak taunya nongol. Mumpung di sini, gue mau ngajakin lo makan soalnya ada depot soto Lamongan baru gitu. Gue mau coba. Tapi kalo sendiri, kan, ngenes."

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang