21. Bulan Biru

1.3K 166 116
                                        

SETELAH BERIBU-RIBU PURNAMA AKU KEMBALI ;A;

halo buat new readers, dan hai lagi buat pembaca setia Aral!🙏🙏

maaf lama bgt ngilang soalnya kerjaan kantor tetiba ga karu-karuan rasanya w nyaris sinting :(

at first I was like, let's just get back when it hits 500 votes soalnya masih 300an juga, kayaknya masih lama. gataunya makin banyak yg baca Aral dan makin banyak yg masukin reading list jadinya aku pengen cepet-cepet balik ke sini buat update 😭💕

makasih buat 3,9 reads + 523 votes nya 💜😭💕 makasih buat yg udah banjir komen di sini 😭 bakal aku usahain bales komen-komennya huhuhu mood-booster bgt bikin semangat pengen cepet-cepet update jugaa

insyaAllah aku bakal update lagi week ini setelah bersemedi (?) karena nulis konflik membuatku begitu brain drain heuheuheu


🌸🌸🌸


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Akhirnya, Jaron berhasil mengeluarkan dirinya dari kepadatan lalu lintas Jakarta-Tangerang dan sampai di rumah. Jaron tidak begitu kaget melihat Dion tidur di sofa ruang tamunya, juga Tio terdampar di sofa ruang tengahnya, serta trio Raka-Jaka-Indi terlelap di kamar belakang. Ia tetap diam dan berjalan pelan-pelan menuju kamarnya, ingin segera istirahat barang sebentar sebelum besok terbang ke Surabaya. Sebenarnya Jaron agak sebal juga karena Pak Ardiansyah Prakasa memintanya datang mendadak sehingga ia tidak bisa bergabung dengan anak-anak Enam Hari dan Satria yang berencana keluar besok malam, tapi apa mau dikata. Pekerjaan harus diprioritaskan.

Begitu membuka pintu kamar, Jaron mendapati Liana tertidur di meja belajar dengan kedua lengan sebagai bantal dan laptopnya sudah tertutup. Jaron hanya bisa tersenyum kecil dan meletakkan ranselnya di meja kerjanya sendiri, kemudian beranjak menghampiri Liana dan membereskan meja belajar istrinya. Ia bahkan tidak perlu menebak-nebak lagi karena terdapat ampas hitam pekat di dasar kedua mug yang tergeletak dekat tumpukan buku Liana.

Bukan pertama kalinya Jaron harus menggendong Liana dari meja belajar ke tempat tidur. Dulu, Liana juga sering tertidur di meja belajar seperti ini saat mengerjakan skripsi. Dulu, Liana sering tertidur seperti ini jika tidak meminum kopi; bukan setelah menenggak dua mug kopi seperti sekarang. Dulu, Liana sering tertidur seperti ini menemani Jaron yang sibuk begadang mengulik lagu; bukan ketika ia tidak ada seperti sekarang.

Meja belajar Liana dan meja kerja Jaron yang bersebelahan membuat keduanya dulu sering menghabiskan waktu bersama dalam hening, tenggelam dalam fokus masing-masing tetapi masih sempat mencuri kesempatan untuk saling melirik dan bertukar kata. Mau tidak mau, Jaron hanya bisa tersenyum getir sambil mengusap-usap lembut kepala Liana karena rasa nostalgia yang tiba-tiba datang.

Apa selama gue tinggal, Liana jadi sering ketiduran di meja kayak gini lagi? Pas gue gak ada, berarti dia tidur di meja sampe pagi?

Rasanya sudah lama sekali Jaron dan Liana tidak duduk bersebelahan di meja masing-masing, atau sekadar membahas ini dan itu sambil memandangi satu sama lain sebelum tidur setiap malam. Ia hanya bisa menatap Liana yang kini terlelap di sampingnya, dengan rambut panjang yang digelung sembarangan dan kaos kebesaran. Tanpa sadar, Jaron mengusap jemari Liana dengan cat kuku yang sedikit mengelupas. Pelan-pelan, ia beringsut mendekat untuk mencium kening Liana lalu menenggelamkan wajahnya dalam ceruk leher perempuan itu.

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang