34. Stasiun Transit

1.3K 132 48
                                        

[18/10/31edit] Maaf ya belum bisa update. Kalo 2 chapter selanjutnya udah rapi, bagian ini akan diedit

((Moved below the story))

[18/12/31edit] how was your last Friday night (of year 2018)? the last time I updated was Dec 10th, it was neither 15k read nor 2k votes yet, but now here we are. thank you for reading. I hope you all get to spend the last day of your 2018 well.

🌸🌸🌸

Sekali lagi, Dion menapakkan kakinya menuju FISIP dengan rasa familiar dan rasa asing yang bergumul menjadi satu. Familiar, karena ia telah menimba ilmu di sini selama empat tahun. Asing, karena empat tahun ini tidak benar-benar ia habiskan sesering itu di kampus. Sebagian teman sejurusannya sudah lulus di wisuda periode lalu dan bisa ditebak, sisanya yang masih berstatus mahasiswa tingkat akhir—seperti dirinya—tidak akan ditemukan bersliweran di kampus.

Sudah hampir tiga tahun Dion menggadaikan prioritas akademiknya demi menjadi anak band. Ia dulu bergabung dengan Enam Hari tanpa disengaja. Pernah satu kepanitiaan di kampus, Raka menemukan Dion yang datang menenteng-nenteng sepasang stik drum sebelum rapat BEM.

"Lo bisa main drum?"

"Bisa, sih, Bang."

"Pas banget. Kita lagi butuh drummer."

Begitulah, Raka mengajak Dion untuk berlatih bersamanya, Juna, dan Brian; Jaron dan Tio menyusul kemudian. Di tahun berikutnya, Raka menjalani kehidupan ganda sebagai menteri BEM kampus dan gitaris Enam Hari. Dion? Fokus menjadi drummer Enam Hari saja sudah kelabakan.

Usut punya usut, keisengan masa SMP memberi Dion kemahiran bermain drum yang terus ia tekuni di samping kegilaannya mengumpulkan komik Detektif Conan hingga sekarang. Kedua tangan Dion menjadi aset bekerja, belajar, dan bermusik. Dion juga punya modal untuk mencerca lengan Jaron dan Tio yang jauh lebih ceking dari lengannya yang berotot.

Selain menggebuk drum, cajon, bedug, rebana, dan sebangsanya, Dion mengaku memelihara otot bisep dan trisepnya dengan rajin berdiri di busway dan KRL. Semakin gonjang-ganjing bus atau kereta yang ditumpanginya, maka semakin terasah otot-otot tangan hingga bahu Dion. Cita-cita Dion yang belum kesampaian hanya satu, yakni menggebuk maling. Cita-cita ini masih sejalan dengan misinya untuk memberantas kejahatan dan kriminalitas.

Menjadi anak band membuat kewalahan, tapi Dion senang menjalaninya. Jika dulu Enam Hari—mengutip Isabel—masih menjadi band 'murah' dengan honor amplop tipis dan nasi kotak, kini Dion sudah mulai mendapat penghasilan sendiri untuk meringankan beban Bunda, membiayai kucing-kucingnya, dan sebagian ditabung. Jika dulu Enam Hari manggungnya masih kurang jauh, kini Dion dan para member sudah berkesempatan keliling Nusantara untuk tur dan promosi album. Pada akhirnya, Dion mengorbankan keanggotaannya di BEM dan kehidupan sosialnya di kampus (bahkan kisah asmaranya) karena jadwal yang kian padat mencekik.

Dion tetap bersyukur. Bunda dan Isabel tidak pernah menuntut, bahkan selalu bangga pada tiap pencapaiannya. Setelah melihat bagaimana gigihnya usaha Bunda dan Isabel untuk membesarkannya tanpa Ayah, Dion hanya ingin membahagiakan kedua malaikat hidupnya dan tidak mau mengecewakan mereka. Dion tidak membenci Ayah meskipun kedua orang tuanya sudah lama sekali bercerai, dan Dion yakin bahwa mereka bertiga bisa melanjutkan hidup tanpa kehadiran Ayah.

Dion hanya masih tidak terima karena keluarga Ayah dulu menolak Bunda yang tidak berasal dari kalangan berada dan termashyur seperti mereka. Dion ingin segera lulus dan bekerja lebih giat lagi untuk membuktikan pada mereka semua bahwa Bunda telah membesarkan dua anak yang berhasil.

"Gue tau lo pasti capek, kok," kata Liana, membelai punggung Dion pelan-pelan seakan Dion seekor macan tertidur yang siap mengamuk jika terbangun, "Pelan-pelan aja ngerjainnya."

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang