10. Buket Bunga Kuning

1.7K 193 61
                                    

apakah kalian penasaran dengan pemandangan di atas? karena aku juga


🌸🌸



Sita tidak paham mengapa ia sekarang berada di depan plang fakultasnya, berpakaian rapi dengan blus berwarna manis dan rok hitam sedikit di atas lutut, serta menanti kehadiran laki-laki sepagi ini. Sita mengetuk-ngetukkan kakinya ke aspal dengan gusar... atau gugup?

"Pagi, Kak Dion!"

Sita menoleh, melihat Dion yang berjalan dari kejauhan.

Sebagaimana diketahui bersama, meskipun bukan penghuni FIB layaknya Tio dan Sita, pamor Dion sebagai kakak tingkat ganteng dan sebagai anak band membuatnya terkenal hingga ke fakultas-fakultas tetangga. Tak heran, banyak anak-anak FIB—mayoritas perempuan—yang segera menyadari kehadiran Dion di fakultas mereka dan tidak mau kelewatan menyapa Dion yang membuat pagi mereka semakin cerah dengan senyuman ramahnya.

"Pagi! Misi numpang lewat, ya!"

"Mari, Kak Dion!"

Dion terus berjalan agak cepat, tapi sekali-kali ia berhenti sejenak untuk membalas sapaan teman-teman seangkatan dan adik-adik tingkat baik dengan anggukan singkat maupun dengan menebar senyum tipis sana-sini.

Sita berdecih saat ia samar-samar mendengar beberapa anak perempuan memekik tertahan, seperti, Ya ampun ya ampun ya ampun ganteng banget Kak Dion hari ini gak paham gak paham, atau, Aduh, lewat di hatiku tanpa permisi juga boleh, Kak.

Hari ini Dion tampak agak lebih rapi, mengenakan kemeja dan bukan kaos oblong seperti biasa. Rambut hitamnya yang kerap dibiarkan berantakan menutupi dahi kini juga tampak rapi, menampakkan sebagian dahinya dan tidak menyembunyikan kedua matanya yang menatap lurus ke depan. Tak lain dan tak bukan, matanya terarah ke arah perempuan yang berdiri di depan plang FIB, Sita. Kali ini bukan draft skripsi yang berada di tangan Dion, tapi sebuket bunga matahari.

Diam-diam Sita bersyukur ia tidak jadi mengenakan kemeja denimnya pagi ini. Jika iya, maka ia dan Dion sekarang dipastikan mengenakan pakaian kembar. Sita tidak sudi.

Begitu sampai di hadapan Sita, Dion menyerahkan buket bunga di tangannya tanpa kata-kata.

"Udah gue ambil duluan pagi ini biar lo gak usah repot-repot ambil ke flowershop," jelas Dion tanpa diminta, "Bang Brian jemput Lian dulu soalnya Bang Jaron berangkatnya nyusul, jadi nggak bisa nganterin lo ke flowershop buat ngambil."

"Oh," hanya itu respons Sita. Kegugupan yang sebelumnya ia rasakan kini berganti rasa kecewa.

"Sidangnya abis ini mulai, kan?" Dion meraih lengan Sita, "Perintilan-perintilan lainnya masih di bagasi mobil gue. Ayo ambil, sama gue."

"Gak nunggu yang lain?"

"Yang lain biar nungguin Bang Tio persiapan aja."

"Eh, tunggu," Sita mengunci kakinya agar Dion tidak dapat menariknya.

"Kenapa lagi, sih?"

"Buketnya gue titipin Qiqay dulu, ya? Ntar repot bawa ginian sama ngangkat barang-barang dari mobil lo."

"Ya elah, Maysaroh. Kalo lo ke sana sekarang ntar ketauan Bang Tio kita mau ngasih dia kembang."

"Eh, iya," Sita baru sadar, "Terus ini gimana, dong? Kenapa lo gak kasihnya nanti aja pas sekalian gue ke mobil lo, sih?"

"Gue kasih sama bunga mataharinya, engep di dalem mobil gak ketemu matahari," jawab Dion asal.

"Apaan, deh?! Alasan macem apa?!"

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang