perlukah aku mengupload bab 7 berjudul Akad segera atau perlukah aku merevisi bab 3 skripsiku
🌸
Perjuangan Jaron untuk mendapatkan Liana memang sangat susah.
Setidaknya Jaron bersyukur karena tidak harus mendaki gunung, melewati lembah, dan mengarungi sungai yang mengalir indah ke samudera. Jalan menuju hati Liana terhitung dilintangi aral yang sangat berarti, tetapi Liana duluan yang mengungkapkan rasa sukanya pada Jaron.
Suka, mungkin bisa jadi sayang, tapi belum tentu bakal cinta, Jaron ingat jelas kata-kata Liana waktu itu.
Jaron iseng bertanya jika Liana sedang menyukai seseorang, dan Liana menjawab bahwa Jaron orangnya sambil menyuap sesendok siomay dengan santai. Semetara Jaron tersedak pare—dikiranya kubis—yang tadinya sudah disisihkan Liana di pinggir piring. Meminum jus apel yang overdosis susu kental manis vanila pun tidak membantu.
Terus, aku kudu gimana? tanya Jaron kemudian. Liana hanya mengedikkan bahu sambil menjawab, Ya, nggak tau.
Apalah kabar hati Jaron. Setelah tiga kali ditolak, akhirnya Liana memberi tahu Jaron kalau ia juga menyukainya.
"Be my girlfriend." "Wait, are you nuts?"
Sebenarnya salah Jaron juga, asal menembak tanpa mengungkapkan perasaannya. Tiga kali, meminta Liana menjadi pacarnya tanpa bilang bahwa ia suka atau sayang Liana. Tidak semudah itu Jaron bisa mengetuk hati Liana yang terkunci rapat dengan rapi.
🌸🌸🌸
"Shit. Bri, jangkrik, can you throw away your shoe—Eh?" Jaron yang barusan bersumpah serapah dalam dua bahasa saat masuk ke apartemen langsung bungkam begitu melihat sosok tak dikenal duduk di lantai ruang tamu dan bersandar di sofa dengan sebuah laptop di pangkuan, mengetik dengan kecepatan tinggi.
"Jaron, remember Araliana?" Brian memiringkan kepalanya ke arah sang tamu.
Jaron tidak menjawab, tapi ia tahu bahwa Brian tahu bahwa ia masih ingat. Liana sendiri tidak menengok meskipun namanya disebut. Liana masih sama, dengan mata lebar dan lengkung bibir yang sama. Liana hanya terlihat sedikit lebih dewasa dan ujung-ujung rambut coklat gelapnya sudah berubah menjadi biru muda.
"Kost-nya Liana mati lampu, padahal dia ada deadline besok, jadi gue suruh nginep di sini aja ngelarin deadlinenya," terang Brian, baru saja keluar kamar mandi dan sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.
"Gak, gak, Mas, aku pulang," koreksi Liana tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop, "Masih jam segini juga. Abis ini aku kelar."
"Udah malem, Li. Udah, sini saja. Besok pagi aku anterin pulang," kata Brian tegas, tanpa celah untuk dibantah, "Kamu kenapa gak mau?"
"Aku bisa pulang naik kereta, Mas Ian. Ya, kan, Kak Jaron? I can go home by myself."
Liana menatap Jaron yang dari tadi hanya menjadi penonton percakapan keduanya. Secara logika, Jaron setuju dengan Liana bahwa hari masih belum terlalu malam dan ia bisa menggunakan transportasi umum. Tapi ketika Jaron melihat kening Liana yang bertaut dan beradu mata dengannya, tiba-tiba Jaron berubah pikiran.
"Just stay here, though. It's okay, anyway. Lagian, gak baik cewek pulang malem-malem," tukas Jaron, seakan-akan ia bukanlah salah satu jenis laki-laki (agak brengsek) yang sendirinya sering memulangkan anak perempuan orang kelewat malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aral [Hiatus]
RomanceBersatu bukan sekadar mengandalkan komitmen, tapi juga kesediaan untuk menerima keadaan. Oh, dan toleransi pada komentar orang. Terlalu muda, terburu-buru, tidak perhitungan, misalnya. Araliana dan Jaron terlalu cepat mengiyakan hidup sebelum belaja...