08. Terbodoh, Memang

2.1K 234 111
                                    

let's play a game! kalo ada yang bisa nebak idol yang aku imagine sebagai Sheila, Kiara, Desita, dan geng gerejanya Brian, you can request a scene for 10th chapter xixixi


🌸🌸   


Seperti biasa. Raga Liana sudah lelah, matanya sudah tidak kuat membaca bertumpuk-tumpuk rujukan riset, tapi otaknya tidak bisa berhenti bekerja.

Kadang Liana lelah, kerap ia menangis. Ia tidak bisa seperti mahasiswa-mahasiswi lain yang bisa beradu dengan deadline. Kalau boleh jujur, ia iri pada mereka yang bisa mengerjakan tugas dengan waktu semampat mungkin, karena tidak perlu bergelut dengan panjangnya waktu yang tak perlu.

Liana benci menghabiskan banyak waktu hanya untuk membaca ulang tiap-tiap paragraf yang ditulisnya ketika artikel-artikel dan kumpulan laporannya bahkan belum selesai, tapi tangan dan otak Liana seakan selalu tergerak untuk melakukan hal tersebut.

Sejak TK, jika Liana salah menulis huruf, ia harus menyalin ulang kata tersebut sampai tiga halaman. Karena Liana selalu buru-buru mengerjakan PR dan dengan gugup menghapus huruf-huruf yang salah dengan penghapus karet, buku tulisnya sering berlubang dan ia mendapat peringatan dari ibunya. Semakin sering membuat kesalahan, semakin sering buku tulis Liana cepat habis.

Saat SD, jika tulisannya jelek, ibunya akan menyuruhnya menulis ulang semua paragraf dari buku teks mulai awal hingga akhir—tidak boleh menggunakan tipeks. Mulanya Liana menuruti, tapi lama-lama ia lelah dan selalu menyobek bukunya untuk menyembunyikan tulisan tangannya yang salah atau paragrafnya yang tidak tepat rata kiri. Semakin sering kesalahan dibuat, semakin sering lembar demi lembar dirobek, semakin tipis buku tulis Liana, dan semakin kentara rahasia yang ia tutupi tersebut. Walaupun akhirnya, ia jadi terbiasa menulis dengan bolpoin dan mengacuhkan pensil.

Beranjak SMP, jika ada catatan-catatan penting, Liana wajib memberdayakan setidaknya tiga bolpoin warna yang dibelikan ibunya untuk menulis poin-poin penting dan kata-kata kunci. Kebiasaan ini terus berlanjut sehingga Liana merasa tidak bisa jika melihat buku catatan orang-orang yang seluruhnya bertinta hitam. Liana pun tidak pernah berhasil menyalin catatan teman-temannya karena ia jadi pening sendiri.

Hingga SMA, jika Liana teledor dalam mengerjakan laporan, ia akan segera mencoret halaman dengan ketikan yang salah dengan spidol merah, baru kemudian ia akan membenahi kesalahan tadi sebelum mencetak ulang laporan yang harus dikumpulkan. Kerap kesalahan tersebut hanya berupa penggunaan titik dan koma yang tidak tepat atau spasi antar paragraf yang tidak sama.

Pada akhirnya, Liana terjerembab dalam 'kebutuhan' untuk melakukan segala sesuatu dengan rapi dan presisi. Jiwa dan raga Liana lelah menjadi orang yang perfeksionis dan tidak bisa mentolerir diri sendiri.

Liana sudah ingin membalik meja saking frustasinya. Tapi tanpa disangka dan tanpa ditunggu, teleponnya berdering menunjukkan notifikasi masuknya panggilan gratis. Dilihatnya jam di dinding yang menunjukkan pukul dua malam. Sepertinya Liana tahu ini siapa.

"Hoit."

"Walaikum salam," jawab Liana.

"Lah, malah dibales salam," protes perempuan di ujung telepon, "Yo opo, nduk? Suamimu sehat?"

Benar saja, Liana seketika tergelak. Separuh geli, separuh takjub.

Heran, Kia ini bukan ibu kandung apalagi ibu mertua Liana tapi bisa-bisanya bertanya begitu. Di tengah malam buta pula. Pukul satu malam! Faedahnya apa? Tapi sudah bertahun-tahun mengenal Kiara Talitha si pemilik senyum sepuluh juta rupiah, Liana tidak kaget.

"Sehat, alhamdulillah," bisa-bisanya Liana menjawab, "Tapi lagi nggak di sini."

"Oh..." ucap Kia; Liana membayangkan si Kia mengangguk-angguk dengan ponsel menempel di telinga, nun jauh di Surabaya sana. "Ya wes. Main ke sini aja kalo si Jaron lagi gak ada. Gimana kabar? Udah lama nggak ke sini."

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang