"Gue, tuh, pusing."
"Hm... Gue juga kayaknya, Ka."
"Gue belom cerita lho, ini, padahal."
"Ya, tapi, gue juga pusing."
"Gelut, yuk, Bri?"
"Aduh, Theodore jadi ikut pusing mendengar percakapan kalian," seongok manusia tipis yang berada di sudut lain ruangan ikut menyahut sambil memijat kedua sisi pelipisnya dengan telunjuk dan jari tengah.
"Tejo," Brian menudingkan telunjuknya ke arah si Theodore, "Diam."
"Diam," Raka ikut menuding si Theodore.
Theodore Joseph, atau Tejo, atau sebenarnya paling tepat dipanggil Tio, mengangguk dan mengangkat tangan lalu memeragakan resleting di mulutnya untuk menandakan bahwa ia akan benar-benar diam. Dengan gestur tangan yang hormat, ia membiarkan Raka dan Brian kembali adu bacot.
Raka, Brian, dan Tio kini berada di apartemen Brian. Tidak ada agenda rutin apalagi agenda khusus. Raka memang sebelumnya mengajak Brian sarapan bubur ayam di salah satu warung langganan mereka. Mereka mulanya hendak mengajak Liana, tapi ia perempuan itu pamit ke apartemen Audrey untuk mengembalikan diktat yang dipinjamnya karena dibutuhkan si empu untuk hari Senin. Tio datang tak dijemput, dan kehadirannya tak disambut.
Intinya; kebetulan saja Raka dan Brian sedang libur dari kesibukan mereka, lalu Tio menyusul untuk meramaikan apartemen Brian.
"Gue pusing banget pembukuan gue gak balance. Gak kuliah, gak kerja, ginian mulu. Butek gue."
Oh, tumben, komentar Tio dalam hati. Karena setahu Tio, urusan pusing Brian tidak jauh dari perempuan. Kalau Raka, kepentingannya yang memusingkan tidak jauh dari pekerjaan, satu adiknya yang bandel dan suka menerjang marabahaya, serta satu lagi adiknya yang menggemaskan dan harus dilindungi dari segala marabahaya. Tapi untuk apa Tio ikut pusing?
"Brian Bhaskara, harusnya gue yang cerita duluan," Raka tidak terima, "Yang tadi bilang pusing duluan, gue."
"Gue juga udah kelar ceritanya, sih. Jadi gimana, Charaka Aditya Nurrangga?" Brian memangku wajahnya dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, memasang wajah sok manis. Tio yang menonton jadi ikut geli seperti Raka.
"Gak jadi, Bri."
"Gimana, sih, Raka Raki Raku?" Brian berusaha mencolek hidung Raka, tapi Raka segera menampar tangan Brian untuk menjauh.
Raka pikir, hidupnya akan sedikit tenang ketika tidak ada Jaron yang bertugas menjadi bedebah paling berisik seantero Jabodetabek. Ternyata, ia salah. Raka beruntung karena sebelum ia semakin naik darah meladeni Brian, pintu apartemen Brian berdebam terbuka. Baik Raka, Brian, maupun Tion dapat mendengar sayup-sayup suara perempuan yang merajuk, Kalo lo protes terus, tau gitu gue ga ngikut ke sini, Dugoooong.
"Assalamualaikum, Bapak-bapak. Lagi pada ngapain?" Dion dengan riang melenggang masuk dengan beberapa kantong plastik berisi aneka makanan. Liana mengekor dari belakang dengan wajah datar, diikuti seorang gadis berambut pendek dan bermata lebar yang lebih tinggi darinya. Tak lain tak bukan, Desita Mayasari orangnya.
"Wa'alaikum salam. Kok, Lian balik lagi?" Raka menatap Liana bingung.
"Disuruh Brianita Bhayangkari balik beli ini," jawab Liana jengkel sambil mengangkat plastik berisi makanan-makanan pesanan Brian, "Jauh-jauh buat beli ginian doang buat lo, Bri."
"Nasi Padangkuuuu," Brian menyambut (makanan yang dibawa) Dion dan Liana dengan tangan terbuka.
"Lo, kok, masih mau dijadiin babunya Brian, sih, Li—Eh, ada Sita sista!" Tio kembali angkat suara, mengisyaratkan Sita untuk segera bergabung dengannya agar kubunya tidak kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aral [Hiatus]
RomanceBersatu bukan sekadar mengandalkan komitmen, tapi juga kesediaan untuk menerima keadaan. Oh, dan toleransi pada komentar orang. Terlalu muda, terburu-buru, tidak perhitungan, misalnya. Araliana dan Jaron terlalu cepat mengiyakan hidup sebelum belaja...