19. Gonjang-Ganjing

1.3K 169 109
                                    

huaaaa balik-balik udah 2,8k reads + 359 votes huhuhu makasih semuanyaaa 💜😭💕

makasih buat temen-temen yang udah setia ngikutin Aral 💕💕  halo juga buat readers baru, semoga langgeng sama Araliaron dan teman-teman 💕💕

aku bakal cerita-cerita dan ngasih penjelasan dikit (?) di author's note di bawah dan insyaAllah next chapter bakal di update secepatnya to commemorate a particular day of mine 💜


🌸🌸🌸


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Liana dan Jaron layak dinobatkan sebagai pasangan ter-absurd versi Enam Hari. Pasalnya, keduanya memiliki preferensi yang tak lazim. Keduanya terbilang jarang bisa memiliki waktu luang bersama, tapi mereka kerap menghabiskannya untuk kegiatan yang (menurut publik) tak berfaedah. Bermalas-malasan di rumah mungkin juga tidak berfaedah, tapi setidaknya mereka bisa makan dan tidur sepuasnya. Yang lebih nirfaedah lagi ialah berjalan kaki dari Bundaran HI menuju Monas seperti pelancong nyasar karena kehabisan tiket nonton, misalnya.

Untung-untung kalo lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa ketemu Bu Susi, tambah Jaron, karena bertemu Bu Sri Mulyani ia sudah pernah dan bertemu Bu Retno Marsudi ia sudah sering.

Kurang sinting, komentar Satria sebelum mengusir mereka pergi dari bioskop dan memilih nonton film lain sendiri.

"Ini kamu kemaren kejambretannya di sini?" tanya Jaron pada Liana begitu mereka melintasi gerbang masuk Monas.

"Nggak. Agak lurus ke depan sana. Kemaren di sebelah gerobak ketoprak," koreksi Liana sambil menunjuk salah satu sudut pintu masuk Monas, tetapi tidak ada tanda-tanda gerobak apapun apalagi gerobak ketoprak dengan penjual berpeci putih seperti deskripsi Liana. Tolong, ini masih siang bolong.

Jaron masih setia menggandeng Liana yang sibuk melihat ke kiri dan ke kanan. Dikaitkannya jemarinya dengan jemari Liana agar perempuan itu tidak oleng atau meleng terlalu jauh. Jika cuaca tidak sedang mendung, mungkin mereka tidak akan cukup sinting untuk menelusuri padatnya ibukota dengan berjalan kaki dan mengenakan masker hitam seperti buronan.

"Inget, nggak, soal wacana ibukota Indonesia mau dipindah ke Kalimantan?" tanya Liana tiba-tiba saat mereka menyeberang.

Memang susah. Pasangan intelektual berpendidikan tinggi bahasannya memang beda.

"Inget," angguk Jaron, mengeratkan genggamannya agar Liana berjalan mendekat dan tidak tersenggol pejalan lain.

"I mean, it makes sense. Everything is crumpled up in Jakarta, right?" lanjut Liana, "Pusat pemerintahan di sini, pusat perekonomian di sini, pusat industri hiburan di sini. Sekretariat ASEAN aja di sini. Emang sebagian besar segala aktivitas ada di Jawa tapi semuanya masih terkonsentrasi di Jakarta. That's why Jakarta is the most advanced economically and everything-wise, but it's not that big much? Makanya ada kawasan metropolitan Jabodetabek karena kalo di Jakarta semua, sebenernya gak muat."

Aral [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang