Sorry kalau part ini pendek banget
^^^
“Lo nggak mau istirahat dulu?”
Mich memalingkan wajahnya ke arah Virgo yang baru saja keluar dari dalam rumahnya. Mich tidak ingin membuang-buang waktu sehingga dia menunggu Virgo di depan pagar. Dia tidak ingin sedikitpun membuang sia-sia waktu yang seharusnya dia gunakan untuk mencari Kiara. Gadis itu sudah hilang terlalu lama dan Mich hampir gila karenanya. Mich tidak tau kenapa. Hanya saja dia memiliki perasaan keharusan untuk mencari gadis itu. Tampang Mich terlihat berantakan saat ini. Rambutnya tidak dirapikan seperti biasa, kantung matanya sebesar bola tenis, belum lagi tampangnya yang kusut seperti baju yang belum disetrika.
Virgo sendiri sampai heran dengan Mich. Dia saja sebagai kakak Kiara tidak sengotot ini. Dia memang khawatir dengan Kiara. Hanya saja rasanya sikap Mich sudah terlalu berlebihan sebagai teman kakak dari seorang gadis yang kabur dari rumah.
“Lo nggak naksir sama adik gue kan?”
Virgo tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sifat Mich benar-benar seperti orang yang sedang kehilangan separuh dari jiwanya. Jadi tidak herankan Virgo jadi bertanya seperti itu.
“Gue nggak tau. Gue cuma ngerasa punya kewajiban buat nyari dia. Udah deh lo nggak usah ngebacot. Yang penting sekarang kita harus nyari Kiara sampe ketemu. Kalo sampe nggak ketemu juga gue bisa gila”
Secara tidak langsung pernyataan Mich itu membuat Virgo yakin kalau Mich memiliki perasaan khusus pada adiknya itu. Apalagi hubungan mereka cukup dekat sebagai orang yang baru kenal. Mich tidak pernah secepat itu bisa dekat dengan orang baru apalagi dengan seorang gadis. Virgo yakin perasaan Mich pada adiknya bukanlah perasaan sebagai seorang teman dari kakak Kiara. Perasaan Mich lebih dari itu. Apalagi semenjak Kiara menghilang cowok itu terlihat sangat sibuk mencari Kiara sampai lupa istirahat. Jadi Virgo nggak salahkan berpendapat seperti itu? Ah adiknya benar-benar membuat seorang Michel Hermawan luluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Fiksi RemajaKiara tidak tau hidupnya akan serumit ini. Dia sudah berusaha menjalani semuanya dengan normal. Bahkan keputusan yang membuatnya pindah sekolah dan pindah tempat tinggal tidak berarti apa-apa. Sepertinya takdir tidak mengijinkannya bahagia. Semua m...