Seminggu berlalu dan Kiara belum juga berbaikan dengan Tania. Tania sudah mencoba berkali-kali ingin membahas masalah ini dengan Kiara, hanya saja anak itu seolah tidak menggubrisnya. Bahkan juga mengabaikan Willi yang sudah keluar dari rumah sakit. Willi tentu saja merasa bersalah atas ucapannya di danau tempo hari. Tapi sama seperti Tania, dia tidak punya kesempatan untuk bicara dengan Kiara. Tentu saja Tania jadi kesal sendiri. Tapi Willi mengatakan kalau mungkin Kiara butuh waktu menyelesaikan masalahnya. Jadinya Tania tidak jadi mengajak Kiara ribut. Sebenarnya Tania lebih suka mereka saling marah dan teriak dibanding diam-diam seperti ini. Karena dengan begitu mereka bisa saling mencurahkan isi hati mereka masing-masing.
Seminggu ini juga setiap ada waktu luang di sekolah, Kiana selalu saja mencoba mengajak Kiara bicara. Walau selalu di cuekin anak itu, dia tak menyerah. Semua ini memang tak gampang untuk di terima, tapi bagaimanapun, Kiara harus mencoba mengerti. Itulah yang diinginkan Kiana. Seperti kali ini, dia mencoba mengajak Kiara bicara. Membiarkan Kiara selalu menghindar merupakan suatu yang salah menurutnya. Bagaimanapun Kiara tak bisa menghindari hal ini.
“Kiara, aku mau bicara”
Kiara hanya diam tanpa mempedulikan. Tapi saat Kiana mencengkram tangannya, dia terpaksa berbalik. Kini pandangannya teralih sempurna menatap Kiana. Melihat wajah Kiana, dia merasa sangat pedih di hatinya. Bagaimanapun, secara tidak langsung Kiana yang sudah menyebabkan semua kekacauan yang terjadi di hidupnya.
“Lo mau bicara apa lagi? Apa nggak cukup semua yang udah lo omongin?” ucapnya dingin.
Kiana hanya bisa menghela napas. Dia tau Kiara pasti akan bersikap seperti ini, tapi dia tak boleh mundur hanya karena sikap Kiara ini.
“Bisa kita bicara di tempat lain?”
Kiara tau pembicaraannya dengan Kiana pasti akan menimbulkan perkelahian. Melihat banyaknya orang-orang yang masih tersisa di sini, Kiara yakin pasti akan menarik perhatian nantinya. Itu hal yang nggak paling dia inginkan saat ini. Dia mengangguk kemudian mengikuti Kiana. Ternyata gadis itu membawanya ke atap sekolah. Sepertinya dia tau kalau pembicaraannya dengan Kiara pasti akan menyebabkan keributan besar.
“Apa lagi yang mau lo bicarain?” ucap Kiara ketika mereka sampai di atap.
“Banyak hal yang harus kita bicarain, Ki. Terutama tentang mama sama papa” balas Kiana tegas.
Kiara mencoba untuk diam dan mendengar. Walau hatinya sakit, dia tetap ingin mendengarkan apa yang dikatakan Kiana. Dia tetap ingin mendengarkan penjelasannya.
“Aku tau kamu tersakiti dengan semua ini, tapi bagaimanapun mereka nggak punya banyak pilihan. Aku bukannya membenarkan tindakan mereka yang menelantarkan kamu, tapi saat itu mereka pasti nggak bermaksud buat melakukan itu”
“Nggak punya plihan? Pilihan apa yang nggak mereka punya? Seenggaknya mereka seharusnya mengerti saat itu gimana perasaan gue sebagai anak. Bahkan gue masih sepuluh tahun, Na. Apa mereka peduli walau gue sekarat? Apa mereka tau kalau gue koma bahkan hampir sebulan? Lo tau nggak gue ngerasa sangat sangat bersalah, gue ngerasa gue yang ngancurin semuanya, tapi apa? Kalian membohongi gue. Apa kalian pernah mikir gimana perasaan gue? Nggak kan? Gue selalu sendiri. Ngadapin semuanya sendiri walau kita tinggal serumah. Gue selalu terabaikan. Gue nggak pernah protes saat mereka bahkan nggak ngeliat gue karena perhatian mereka seutuhnya buat lo yang katanya sakit. Tapi apa menurut lo dengan meninggalkan gue dengan cerita bohong seperti itu benar? Gue lebih dari hancur, Na” bentaknya tak bisa mengendalikan emosi.
Kiara tau semakin lama berada dekat dengan Kiana hanya akan membuat suasana ini semakin kacau. Kiara ingin meninggalkan Kiana di atap tapi jelas saja Kiana tak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ada banyak hal yang masih ingin dia jelaskan pada Kiara.
“Tapi Kiara, seenggaknya kamu nggak perlu hidup dalam kemarahan seperti ini. Tolong maafin mereka! Kamu harus bisa menerima kenyataan. Kalau aku aja bisa maafin mereka kenapa kamu nggak?”
“Mungkin lo bisa, tapi gue nggak bisa segampang itu memaafkan mereka” balasnya dingin.
“Nggak ada satupun dari kebohongan mereka yang nyakitin lo. Sedangkan gue, lo tau nggak apa yang mereka kasih ke gue? Cerita yang wow banget. Kalau dijadiin film sepertinya bakal laris banget mengingat kebohongan mereka semenarik itu. Mereka nggak pernah peduli sama gue. Yang mereka sayang itu cuma lo” suara Kiara tinggi.
“Kiara, mereka juga sayang sama kamu” ucap Kiana menolak kata-kata Kiara itu.
“Sayang? Bohong banget. Kalau mereka juga sayang sama gue, walau lo sakit mereka nggak akan nelantarin gue begitu. Nggak akan bikin cerita bohong seperti ini. Walau mereka ninggalin gue seenggaknya mereka masih hubungin gue lewat apapun tapi kenyataannya nggak sama sekali. Bahkan mereka meminta semua orang untuk menutupi kebohongan mereka. Terus sekarang tiba–tiba aja kalian datang dan dengan egoisnya meminta gue memilih karena salah satu diantara mereka nggak bisa memiliki lo. Begitukan? Gue tau mereka nggak pernah benar-benar menginginkan gue. Jadi sebaiknya lo nggak perlu bicarain apapun lagi ke gue”
Untung saja mereka di atap. Kalau tidak pasti saat ini banyak yang menyaksikan pertengkaran mereka barusan dan besoknya akan banyak gosip yang beredar. Kiara benar-benar benci kalau dia jadi bahan gosip. Kiara memutuskan untuk meninggalkan Kiana. Sepertinya berada ditempat yang sama dalam waktu yang lama dengan semua kemarahan ini hanya akan membuat mereka berdua bertengkar lebih hebat lagi dari ini.
Kiana hanya bisa menghela napas melihat kepergian Kiara. Kali ini dia tidak menghentikannya seperti sebelum-sebelumnya. Kiara yang selalu perhatian padanya, Kiara yang selalu melindunginya, Kiara yang selalu mau menghabiskan waktu bersamanya, Kiara yang tak pernah cemburu ketika yang diperhatikan hanya dirinya sendiri dan tetap tersenyum walau hatinya sakit dengan kenyataan itu. Kiaranya yang tegar dan kuat. Kini yang ada hanyalah Kiara yang dipenuhi amarah, Kiara yang asing dimata Kiana. Tapi apa haknya menilai Kiara seperti itu? Bagaimanapun semua ini karena dirinya. Andai saja dia tak lemah, andai saja dia lebih peka sedikit saja, semua kenyataan nggak akan serumit ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen FictionKiara tidak tau hidupnya akan serumit ini. Dia sudah berusaha menjalani semuanya dengan normal. Bahkan keputusan yang membuatnya pindah sekolah dan pindah tempat tinggal tidak berarti apa-apa. Sepertinya takdir tidak mengijinkannya bahagia. Semua m...