Kiara memasuki kelas tanpa semangat. Semua yang terjadi akhir-akhir ini benar-benar membuat Kiara depresi. Pelajarannya jadi berantakan, hidupnya apa lagi. Soal basket jangan ditanya. Dia malah minta ijin untuk tidak ikut latihan sementara waktu. Tidak ikut pertandingan walaupun pertandingan itu penting. Masalah ini juga membuatnya melupakan tentang kesehatan dirinya sendiri. Dia jadi malas makan, susah tidur, susah konsentrasi.
Ketika Kiara masuk ke kelas, Tania dan Willi yang lebih dulu masuk setelah istirahat melihat Kiara. Mereka benar-benar tidak tega melihat Kiara seperti sekarang ini. Mereka masih terus memandang Kiara bahkan saat Kiara sudah duduk dikursinya. Kiara sendiri tidak mempedulikan pandangan mereka. Begitu sampai dikursinya, Kiara menelungkupkan kepalanya di atas tangan yang dilipat di atas meja. Kepalanya terasa sakit. Bahkan dia tetap seperti itu ketika Tania mendekat ke sampingnya. Juga saat Willi berdiri di depannya sambil memandang Kiara khawatir.
“Lo nggak apa-apakan, Ki?” suara Willi yang diamini Tania.
“Gue baik-baik aja”
Jawab Kiara sekenanya. Tapi yang jelas dia tak merasa baik-baik saja. Memangnya siapa yang akan merasa baik – baik saja ketika mengalami semua yang tengah dialaminya saat ini?
“Gue mau minta maaf atas ucapan gue tempo hari”
“Gue juga mau minta maaf, Ki. Nggak seharusnya gue marah sama lo”
Willi dan Tania meminta maaf bergantian. Mereka terlihat sungguh-sungguh meminta maaf.
“Nggak usah dibahas. Gue nggak marah sama kalian. Gue cuma marah sama diri gue sendiri”
Tania dan Willi jadi tidak tau harus mengucapkan apa karena Kiara bicara seperti itu selain,
“Kalo lo butuh apa – apa, lo bisa cerita sama kita! Oke”
Kiara hanya mengangguk mendengar kata-kata Tania. Dengan begitu Tania dan Willi tau kalau Kiara lagi nggak pengen diganggu. Mereka memahami itu. Dan mereka akan memberinya waktu untuk menenangkan diri. Seenggaknya hubungan mereka sudah membaik karena mereka sudah meminta maaf. Tapi sayangnya saat pelajaran Tania terpaksa menyikut Kiara. Dari tadi Pak Budi terus menatap Kiara di sela-sela menerangkan rumus-rumus Fisika di depan papan tulis. Guru yang satu ini terkenal cukup killer. Dia paling nggak suka ada siswa yang bengong dalam pelajarannya. Jadi sebelum Kiara di tegur Pak Budi, lebih baik dia yang negur. Seenggaknya Kiara nggak bakal malu di depan teman-teman sekelasnya.
“Ki, kalo lo bengong terus, bisa-bisa lo di damprat Pak Budi”
Kiara menghembuskan napasnya mendengar perkataan Tania. Terpaksa memperhatikan kicauan-kiacauan Pak Budi yang hanya seperti membacakan mantra-mantra tak jelas bagi Kiara. Untung saja tak lama setelah itu bel istirahat kedua berbunyi. Jadi Kiara nggak perlu pura-pura memperhatikan segala.
“Kantin yuk!” ajak Tania. Willi segera berdiri dari tempat duduknya, tapi tidak dengan Kiara.
“Kalian aja. Gue lagi males. Mau di kelas aja”
Tania dan Willi saling berpandangan. Tanpa mereka sadari dari tadi Kiana memandang ke arah mereka dari luar. Entah kenapa dia bisa sudah ada di sana sebelum bel istirahat berbunyi.
“Lo yakin? Lo nggak laper gitu?” tanya Tania lagi. Soalnya pas istirahat pertama tadi Kiara juga nggak makan apa-apa. Dan sebenarnya dia sudah tidak makan dari kemaren.
“Iya, gue yakin dan gue nggak laper” jawabnya seketika. Kemudian kembali merebahkan kepalanya ke atas meja. Kepalanya terasa berdenyut sakit.
“Gue nemenin lo di sini aja deh. Tan, gue nitip minum dingin ya”

KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Ficção AdolescenteKiara tidak tau hidupnya akan serumit ini. Dia sudah berusaha menjalani semuanya dengan normal. Bahkan keputusan yang membuatnya pindah sekolah dan pindah tempat tinggal tidak berarti apa-apa. Sepertinya takdir tidak mengijinkannya bahagia. Semua m...