Kiara memutuskan untuk pulang. Seperti saat dia pertama datang, Olive mengantar Kiara ke stasiun. Gadis itu berpesan agar Kiara berhati-hati dan jaga kesehatan. Dia akan selalu ada kalau Kiara membutuhkannya yang membuat Kiara tersenyum senang dan lega. Setelah sekian lama Olive tidak berubah. Matanya yang berwarna hazel masih memandang Kiara hangat seperti biasanya. Senyumnya selalu ceria dan lebar. Kiara akan merindukannya nanti. Kemudian keduanya sama-sama berpesan agar mengikhlaskan Sandra. Ya Kiara akan mencoba. Mungkin memang tuhan tidak ingin melihat Sandra menderita karena penyakitnya yang tidak bisa disembuhkan.
Kiara sampai di rumah saat matahari sudah mengilang. Kiara masuk ke dalam rumah dan tidak mendapati siapapun di ruang tamu. Namun Kiara mendengar samar-samar suara yang berasal dari ruang keluarga. Kiara menuju kesana, namun langkahnya terhenti ketika mendengar namanya di sebut-sebut. Suara Omanya.
“Ibu tidak pernah setuju kamu menikah dengan Pras, Renata. Ibu juga tidak pernah setuju dengan semua rencana kalian untuk meninggalkan Kiara. Sekarang kamu lihat apa yang sudah kalian akibatkan? Kalian membuat cucu-cucu ibu menderita. Kiara pergi dari rumah dan sekarang entah ada di mana. Kiana terus mencari adiknya dan sekarang malah sakit karenanya”
Suara Oma terdengar menahan murka.
“Maafkan Rena, Ibu. Rena tau ini semua kesalahan Rena”
“Seharusnya kamu mengucapkan itu pada Kiara. Dia yang paling menderita karena semua ini. Sekarang dia entah ada dimana. Entah dia sudah makan atau belum, entah dia baik-baik saja di luar sana. Bahkan dia tidak datang kepada ibu, padahal ibu, Omanya”
Entah kenapa ada perasaan hangat saat Kiara mendengar perkataan Omanya. Kiara tau seharusnya dia tidak beranggapan kalau dia menghadapi semua ini sendirian. Dia punya orang-orang yang ada di sisinya. Ada Oma yang akan selalu menyayangi Kiara betapa nakalpun Kiara. Ada Bunda Arin dan Ayah Pram yang selama ini berperan sebagai orang tuanya. Ada Virgo, kakak yang akan selalu melindunginya. Ada Mich yang selalu bersedia membantu Kiara. Dia juga punya sahabat yang mengerti seperti Willi, Tania dan bahkan Olive.
“Oma”
Suara Kiara yang berasal dari arah pintu itu membuat orang-orang yang ada di sana langsung memalingkan wajahnya menatap Kiara. Semuanya terlihat kaget karena kedatangan Kiara yang tiba-tiba. Kiara tidak terlalu mempermasalahkan itu. Dia hanya langsung mendekat dan memeluk omanya.
“Maafin Kiara, Oma. Kiara nggak tau kalau Oma akan sekhawatir itu sama Kiara”
“Kamu nggak terlukakan? Kamu sehat?”
“Kiara baik-baik aja Oma”
Kiara melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum hangat ke pada Oma.
“Berhubung semua ada di sini, ada hal yang ingin Kiara bahas dan Kiara minta”
Semua mata memandang Kiara bingung. Gadis itu kemaren kabur dari rumah sekarang saat kembali malah bicara seperrti itu. Tidak hanya oma yang memandangnya bingung. Tapi juga Arin, Pram, Renata, Kiana dan Virgo. Kiara menatap mereka semua lama, kemudian berucap,
“Maaf Kiara pergi begitu aja. Tapi Kiara ngerasa itu lebih baik dibanding Kiara memilih mengakhiri hidup Kiara seperti sebelumnya”
Virgo menatap Kiara tajam karena ucapannya itu tapi Kiara tidak peduli. Dia terus melanjutkan ucapannya. Dia menatap Renata dengan pandangan yang Kiara sendiri tidak tau itu pandangan seperti apa. Semua perasaannya masih bercampur aduk saat melihat mamanya itu. Bahkan rasa sakit yang menghujam hatinya tidak berkurang walau dia sudah bertekad untuk mencoba menerima.
“Aku mau ngucapin terima kasih sama mama untuk nggak terlibat dengan rencana untuk melenyapkan aku. Aku juga udah maafin mama atas semua yang terjadi, tapi maaf sampai sekarang aku belum bisa nerima kehadiran mama lagi dalam hidup aku. Semuanya nggak segampang itu”
Mamanya sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi Kiara tidak memberinya kesempatan. Dia kembali melanjutkan perkataannya,
“Buat Kiana, aku tau kamu nggak salah apapun atas semua yang terjadi dalam hidup aku. Hanya saja setiap melihat kamu, aku selalu ingat kalau aku tidak diinginkan. Dan itu rasanya menyakitkan”
Semua orang terkesiap dengan kata-kata yang barusan Kiara ucapkan.
“Kiara, Mama nggak...”
“Mama mungkin nggak bermaksud seperti itu, tapi setelah semua yang terjadi, itu yang aku rasain. Kehadiran aku nggak diinginkan di dunia ini, terutama dalam keluarga kecil kita” ucap Kiara sambil membuang napas kecewa.
“Buat Bunda Arin, Ayah Pram, dan juga Oma, terima kasih sudah menerima dan merawat aku selama ini. Kalau ada yang harus aku anggap orang tua, itu adalah kalian. Buat Kak Virgo, terima kasih sudah melindungi aku selama ini dan menjadi kakak yang sangat baik. Aku nggak tau hidup aku akan seperti apa kalau kalian tidak mendukung aku selama ini”
Kiara diam sejenak. Dadanya terasa sesak. Tapi dia harus mengatakan semua hal yang ingin dia katakan. Dia akan mengatakan semua keputusan yang sudah dia ambil.
“Beberapa waktu lalu mama meminta aku memilih untuk tinggal sama mama atau papa. Dan sekarang sudah jelas kalau aku tidak mungkin untuk memilih tinggal sama papa, tapi maaf aku juga nggak akan tinggal sama mama. Bagi aku kalian berdua nggak berhak memberi aku pilihan. Mungkin aku juga akan pergi dari sini”
“Maksud lo apa dengan pergi dari sini?”
Kali ini Virgo tidak bisa diam saja. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan adiknya meninggalkan rumah ini lagi. Virgo tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Lo mau melarikan diri lagi? Lo mau ninggalin semua orang yang peduli sama lo?”
Kiara menghela napasnya sejenak, kemudian memandang semua orang yang sepertinya menunggu jawabannya. Hanya saja Kiara tau kalau mereka semua akan menentang keputusan yang sudah diambilnya ini.
“Kemungkinan seperti itu. Aku masih berpikir untuk melakukannya. Mungkin aku akan membuat keputusan setelah persidangan selesai”
Setelah itu Kiara melangkahkan kakinya keluar. Virgo ingin menyusul adiknya tapi di tahan oleh Arin. Selebihnya hanya bisa terdiam meresapi semua hal yang diutarakan oleh Kiara. Mereka sadar kalau akibat semuanya Kiara seterluka itu.
Maaf kalo updatenya lama

KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Novela JuvenilKiara tidak tau hidupnya akan serumit ini. Dia sudah berusaha menjalani semuanya dengan normal. Bahkan keputusan yang membuatnya pindah sekolah dan pindah tempat tinggal tidak berarti apa-apa. Sepertinya takdir tidak mengijinkannya bahagia. Semua m...