Kiara pulang ke rumah diantar oleh Mich. Dari rumah sakit Kiara langsung ke rumah Mich karena mengambil barang-barangnya. Cowok itu juga berkata kalau dia kalang kabut mencari Kiara karena dia tidak ada di sekolah saat Mich menjemput. Kiara hanya bisa mengucapkan sebuah kata maaf karena membuat cowok itu kerepotan. Mich sangat baik kepadanya. Membiarkannya menginap, mengantarnya ke sekolah dan sekarang juga mengantarnya pulang ke rumah. Setidaknya cowok itu sudah memberikan tempat untuknya menenangkan diri. Semua yang terjadi benar-benar menguras emosi Kiara. Apalagi kejadian Willi tadi. Dia tidak pernah menyangka hidupnya akan sekacau ini.
“Kiara” suara Arin membuat Kiara tersentak.
Kiara berterima kasih kepada Mich sudah mengantarnya pulang. Setelah cowok itu pergi barulah Kiara mendekati Bundanya.
“Kiara capek, Bunda. Kiara mau istirahat” ucapnya.
Arin hanya membiarkan Kiara melewatinya. Dia tau tidak akan gampang bagi Kiara untuk menerima semua kenyataan ini. Semua yang pernah terjadi pada Kiara, benar-benar membuat Arin merasa kasihan padanya. Tapi Kiara tidak bisa terus seperti ini. Dia harus bisa menerima kenyataan.
Kiara bertemu Kiana di dalam rumah. Gadis itu sepertinya juga menunggunya.
“Ki, aku perlu bicara sama kamu”
“Tolong, biarin gue sendiri” balas Kiara tanpa peduli dengan Kiana yang sepertinya berusaha bicara padanya.
Dia menuju kamarnya dan mengunci pintu. Kiara langsung merebahkan diri di kasur setelahnya. Memandang langit-langit kamar. Pikirannya mengarah pada semua kejadian yang sudah terjadi dalam hidupnya. Kejadian malam itu ketika dia pulang dan mendapati Kiana tumbang, kemarahan orang tuanya karena kejadian itu, kecelakaan yang berakhir dengan kematian mereka yang ternyata bohong. Kemudian kejadian akhir-akhir ini yang membuat dirinya semakin nelangsa saja. Kemarahan Tania karena dia pergi begitu saja meninggalkan Willi tadi.
Kiara tau kalau Tania masih marah bahkan sampai saat dia meninggalkan rumah sakit. Dia tidak akan bercerita kepada Tania atau Willi tentang masalahnya saat ini karena dia tau semua itu hanya membuang waktu. Apalagi dengan kemarahan Tania tadi. Kiara benar-benar tau kalau dia sendirian menghadapi semua ini. Andai saja Sandra masih ada, Kiara tidak akan senelangsa ini.
Kiara bangkit dan meraih fotonya bersama Sandra yang bertengger manis di atas meja belajarnya. Itu foto ketika nereka pertama kali menjadi murid SMA. Sandra terlihat cantik dengan rambut pendek sebahu, dengan poni yang hampir menutup matanya. Senyumnya yang lebar dan lesung pipi di kedua pipinya yang dulu selalu berhasil menenangkan Kiara.
Dulu dia bisa bercerita apa saja pada gadis itu. Sebelum pindah kembali ke sini, dari semua orang terdekatnya, dia lebih memilih mempercayakan semuanya pada Sandra. Cerita tentang keluarganya, penolakan yang dia terima, kematian keluarganya yang dia sebabkan. Sandra yang mau berada di sisinya saat teman-temannya yang lain menjauhi Kiara karena sikap pendiamnya, bahkan Kiara merasa Sandra lebih mengenal dirinya di banding dia sendiri. Mereka langsung dekat ketika Kiara di bawa neneknya untuk tinggal di sana. Rumah Sandra persis di samping rumah neneknya.
Sayangnya dia tidak lagi bisa menemui Sandra. Bahkan dia juga tidak berani menghubungi Olive setelah semua yang terjadi. Dia tidak lagi punya keberanian menemui Olive setelah kematian Sandra. Mungkin saja sahabat dekatnya itu membencinya setelah apa yang dia akibatkan.
“Apa lo bahagia disana, Ndra? Apa lo juga kangen sama gue? Kalau aja malam itu nggak terjadi, gue masih akan bisa cerita ke lo disaat seperti ini. Gue nggak akan sendirian menghadapi semua kebohongan ini. Gue nggak sanggup jalani ini lagi Ndra. Gue capek. Seharusnya gue mati aja malam itu Ndra. Seharusnya gue mati aja”
Kiara bicara pada foto Sandra. Seakan dengan begitu dia bicara dengan Sandra sendiri. Air matanya mengalir begitu saja. Rasanya saat ini dia tidak bisa lagi menahan semua perasaanya. Rasanya saat ini dia ingin mati saja. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen FictionKiara tidak tau hidupnya akan serumit ini. Dia sudah berusaha menjalani semuanya dengan normal. Bahkan keputusan yang membuatnya pindah sekolah dan pindah tempat tinggal tidak berarti apa-apa. Sepertinya takdir tidak mengijinkannya bahagia. Semua m...