《Sepuluh》

41.5K 3.9K 333
                                    

Malam ini aku tidak bisa tidur. Bukan karena lagi ada pocong, kunti atau genderuwo yang mengganggu. Tapi aku lagi terserang yang namanya THR. Kalian tahu apa kepanjangan dari THR? Bukan Tunjangan Hari Raya, melainkan Ternyata Hatiku Rindu.

Mungkin ini yang dinamakan dengan gagal move on. Masa ya, tiap menit aku selalu kepikiran sama Niko mulu? Mau makan ingat dia. Mau tidur ingat dia. Mau masak ingat dia. Mau cuci piring ingat dia. Mau nyisir rambut ingat dia. Bahkan mau nyapu halaman depan rumah pun, keingat dia terus. Aku jadi curiga, jangan-jangan si Niko diam-diam menyantetku dari Batam sana.

Tapi, mustahil sih dia pakai dukun. Kan Niko sendiri yang minta putus, bukan diriku. Harusnya aku yang santet dia sampai muntah darah, kalau perlu keluar paku dari kepalanya karena sudah buat aku sakit hati.

Ini semua salah si kue nastar. Semenjak bertemu dengan Aktar, jalan pikiranku itu jadi mulai ngaco dan lari kemana-mana. Dia memang bawa pengaruh buruk dalam hidupku. Belum jadi suami saja, Aktar sudah membangkitkan sisi kesadisan dalam diriku. Bagaimana jika sudah sah menjadi suaminya coba? Oke. Aku merinding sendiri bayangkannya, lebih baik aku lanjut mengetik naskah novelku saja.

Lagi asik-asik ngetik, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dan nama yang tertera di layar panggilan video adalah orang yang sudah pergi meninggalkan sejuta luka di hatiku. Iya itu Niko, mantan kekasihku. Kemarin itu aku sempat blokir kontak nomor dan sosmed miliknya. Tapi kemudian aku buka lagi blokirannya. Karena jujur ya, aku itu paling sulit membenci orang lain. Bisa dikatakan, hatiku ini sangat lemah. Lebih lemah dari penis pria yang terkena impoten. Sungguh menyedihkan sekali.

Ponsel di tanganku masih berdering. Mau angkat telepon video darinya, tapi aku takut kenangan masa lalu kembali mengejar dan menerpa bagai badai di tengah gurun. Dan kalau tidak dijawab, aku yang jadi penasaran kenapa Niko tiba-tiba menghubungiku lagi. Tapi kalau nanti dia cuma mau pamer pacar barunya, kan aku yang sedih.

Ah sudahlah... aku jawab saja. Hitung-hitung hilangin rasa rindu sama Niko.

"Hai Bii," Sapa Niko tersenyum di layar ponselku. Ada yang beda dari Niko, wajahnya terlihat pucat. Dia juga tampak lebih kurus. "Aku pikir kamu udah nggak mau angkat telepon dariku lagi."

"Hai juga Ko," Balasku kikuk.

"Kamu sehat kan?"

"Sehat. Kamu sendiri gimana? Kok kurusan gitu?" Tanyaku khawatir.

Dia tersenyum. "Kemarin baru pulang dari rumah sakit. Ya biasalah, kecapekan kerja lembur. Eh kamu nggak apa-apa kan aku ganggu malam gini?"

"Sebenarnya apa tujuan kamu hubungi aku lagi Ko?" Wajah sedihku terpampang jelas di layar ponsel.

"Aku kangen Bii...."

"Aku itu nggak ngerti apa mau kamu." Mataku memerah menahan air mataku agar tidak jatuh menetes. "Kalau kangen, terus kenapa kamu putusin aku tanpa alasan? Aku sampai gila sendiri, nebak-nebak kesalahan apa yang udah aku lakuin sampai kamu tega seperti itu."

"Kamu nggak salah apapun Bii... maafkan aku."

"Enak aja minta maaf! Dengar ya Ko, aku nggak akan pernah maafin kamu! Aku benci! Benci banget! Kamu itu laki-laki paling jahat dari semua pria yang pernah aku kenal." Kekesalan yang kupendam selama ini, aku lontarkan semua padanya.

"Kamu berhak benci sama aku."

"Iyalah!"

"Tetaplah bahagia di sana tanpa aku." Suara Niko terdengar melemah.

"Oh jelas. Aku bahagia sekali tanpa kamu. Tahu kenapa? Karena bulan depan aku akan menikah. Nanti kalau sempat, undangannya aku kirim ke Batam. Kamu harus datang loh, biar kamu bisa lihat sendiri. Bagaimana kerennya calon suami aku itu."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang