《Sebelas》

37.6K 3.6K 231
                                        

Begitu menginjakkan kaki di bandar udara Internasional Ngurah Rai, aku langsung berselfie ria dan mempostingnya ke instagram. Tanpa sengaja kamera ponselku menangkap wajah jutek Aktar, sehingga terpaksa membuatku menolehkan kepala ke belakang.

"Muka kau kenapa asem kayak ketek gitu?" Tanyaku sambil merapikan poni rambut.

"Jangan bikin malu bisa nggak?"

"Malu gimana?" Aku menatapnya bingung.

"Seperti yang kau lakukan sekarang ini. Dikit-dikit foto. Pake acara lidah meletlah, bibir yang dimanyunginlah. Dasar alay!"

"Gak apa-apa dibilang alay. Yang penting I'm happyyy...." Teriakku girang.

"Pokoknya nggak ada yang namanya selfie-selfie di bandara. Atau kau mau aku tinggal di sini sendiri?"

Kedua mataku melotot. "Jadi sekarang kau mainannya ngancam?"

"Nggak ngancam. Cuma sekedar memperingatkan," Jawabnya kalem seraya mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan untuk seseorang.

"Heh, biji nanas!" Semburku emosi.

"Tunggu- tunggu." Aktar mengangkat satu tangan ke depan untuk menyela ucapanku. "Bukannya aku nggak sopan memotong pembicaraan. Tapi kalau boleh tahu, sejak kapan buah nanas punya biji?"

Eh? Iya juga ya. Sial! Kenapa aku asal nyebut tanpa berpikir dulu tadi? Ketahuan banget aku sering duduk di belakang waktu sekolah dulu.

Tanpa mengurangi kepercayaan diri. Aku masih berdiri tegak dengan wajah sombong menatap Aktar. "Sori... tadi kurang fokus. Yaudah sekarang kalimatnya aku ganti jadi biji nangka."

"Maaf... kalau aku potong lagi."

"Apalagi sih? Aku ini lagi marah loh. Kenapa kau sibuk potong terus hah?" Tanyaku tak sabaran. Bukannya apa, tapi aku takut lupa mau ngomong apa.

Soalnya daya ingatku itu sangat payah. Gunting kuku yang baru lima menit aku pakai saja bisa lupa letak di mana. Pikun kronis. Mungkin kalau kepalaku dikit saja terbentur dinding, pasti langsung amnesia kayaknya. Parah banget kan?

"Bisa request? Nggak usah pakai kalimat biji bisa?"

"Nggak ada acara request di sini! Kau kira kita lagi siaran radio yang pakai request lagu?!" Seruku kesal.

"Oh ya sudah. Silahkan dilanjut, pakai biji nangka lagi juga nggak apa-apa."

Tuh kan. Aku sudah lupa mau ngomong apa tadi. Aku berusaha mengingat kembali kata-kata yang ingin aku lontarkan pada Aktar.

"Aku nggak mau pakai kalimat biji lagi. Heh, tadi kau ngancam mau tinggalin aku sendiri kan? Dengar ya Aktar! Kau pikir aku bakal berani sendiri di Bali?" Aku terdiam sesaat mencerna ucapanku itu. Lalu detik berikutnya aku menepuk jidat saat menyadari ada kalimat yang salah.

"Maksud aku itu, kau pikir aku bakal takut kalau di tinggal sendiri di sini? Jangan sepele ya sama anak Medan. Asal kau tahu aja. Meskipun kami jadi kambing di kampung sendiri, tapi kami selalu bisa jadi banteng di kota perantauan mana pun! Anak medan itu kuat, keras, mandiri dan pantang menyerah. Hidup anak Medan!" Seruku dengan mengangkat satu tangan kanan ke atas.

Aktar bertepuk tangan sebanyak tiga kali. Sepertinya dia terpukau. "Hebat-hebat. Kalau begitu silahkan cari kambing atau banteng tadi, untuk mengantarkan anak Medan yang mandiri ini ke tempat hotel kita menginap. Oke? Pak Wayan udah menjemputku di depan. Aku pergi dulu."

Dia beneran pergi tanpa mengajakku ikut. Sungguh bangsat yang haqiqi!!

Aku menarik koper dan berlari mengejarnya. Supir yang bernama Wayan tadi langsung membungkukkan badan menyambut Aktar. Lalu dengan sigap ia mengambil koper dari Aktar dan memasukkannya ke bagasi.

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang