Aku memutuskan untuk tetap lanjut pergi. Persetan dengan dompetku yang tertinggal di dalam mobil, yang penting saat ini ada ponsel di tanganku. Lagipula aku tidak mau harga diriku jatuh di depan Aktar. Aku yakin dia pasti sedang tertawa melihat kebodohanku tadi. Seharusnya aku sadar kalau aksi teror itu hanya sebuah simulasi, tapi sayangnya otakku tidak bisa bekerja dengan baik di saat sedang panik.
Begitu sampai di lantai dasar, segera kubuka kontak Hp dan mengetikkan huruf B di bagian pencarian sehingga nama "Bucin Nutrijel" muncul di layar. Tak ingin membuang waktu lagi, lantas aku langsung menghubungi nomornya.
"Ada apa?" tanya Edgar ketika menjawab teleponku.
"Aku butuh bantuanmu," ucapku to the point.
"Bisakah kau menjemputku?""Aku ini seorang pebisnis. Seharusnya kau berbasa-basi dulu, sebelum minta bantuan. Tanyakan, apakah hari ini aku sedang sibuk atau tidak?"
Kedua bola mataku berputar. "Baiklah. Apa kau sibuk hari ini?"
"Tidak," jawabnya cepat.
"Jadi bisakah kau menjemputku?"
"Kenapa aku harus menjemputmu?" Tidak ada yang salah dari pertanyaannya, hanya saja nada suaranya itu terdengar sangat menyebalkan di telingaku.
"Tadi aku habis ribut dengan Aktar. Energiku banyak terkuras dan sekarang aku sangat lapar. Aku ingin pergi untuk mencari makan siang tapi dompetku tertinggal, jadi aku membutuhkan bantuanmu. Kecuali kau ingin melihat anak Aktar yang ada di dalam perutku ini mengalami busung lapar, apa kau tega?"
"Di mana posisimu? Aku akan datang."
"Aku berada di depan parkiran hotel milik keluarga Aktar. Cepat datang ya, nggak pake lama. Aku tunggu."
Setelah mematikan telepon, aku mencari tempat untuk berteduh dari sinar matahari yang begitu panas. Sebenarnya aku bisa minta bantuan dari para sahabatku, tapi aku tidak ingin merepotkan mereka yang sedang bekerja. Biar Edgar saja yang aku ganggu, dia kan seorang Bos. Tidak akan ada orang yang memecatnya jika bolos seharian.
"Ibu Arimbi ya?"
Aku menoleh ke samping saat mendengar suara laki-laki yang menyebutkan namaku. Dia memakai seragam karyawan di hotel ini. "Kau mengenalku?" tanyaku padanya.
"Tentu saya kenal, kan saya pegawai juga di hotel ini. Lagian siapa sih yang tidak kenal dengan istri pak General Manager? Hehe... Tapi kenapa mata Ibu terlihat sembab sekali ya, apa bu Arimbi habis menangis?"
Sialan! Kenapa di saat seperti ini ada yang mengenaliku? Kemarin-kemarin tidak ada.
"Jangan pedulikan saya. Suasana hati saya lagi tidak bersahabat, jadi pergilah. Jangan ganggu saya!" omelku.
"I--iya Bu." Dia mengangguk cepat dan langsung pergi.
Tin-tin-tin-tiiiiinnnnn!!!
Roh dalam tubuhku hampir saja terlepas saat tiba-tiba mendengar suara klakson mobil Range Rover LWB Vogue SE bewarna putih yang berhenti di depanku. Ketika kaca pintu bagian kirinya diturunkan, aku bersiap ingin memaki orang yang berada di dalam mobil itu. Namun aku kembali terkejut saat melihat siapa sosok yang ada di dalam sana.