"Arimbi, bangun! Biii..." Perlahan aku membuka mata saat mendengar suara Aktar yang memanggil namaku seraya menepuk sebelah pipiku.
Kepalaku terasa sakit sekali. Pandanganku juga mengabur saat menatap Aktar. Jadi aku putuskan untuk memejamkan mata beberapa saat, setelah itu kubuka lagi. Dan kali ini sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Apa kita sudah meninggal?" Tanyaku padanya.
"Belum, kita masih hidup."
Aku menghembuskan napas lega. "Ah syukurlah, soalnya aku lupa belum bayar utang pulsa ke Terra."
Aktar mendengus. "Bagaimana bisa dalam keadaan darurat begini, kau mengingat hal seperti itu?"
"Nggak tahu. Tiba-tiba aja itu yang terlintas dalam kepalaku."
"Hidungmu berdarah. Jangan menundukkan kepalamu dulu," Ujarnya seraya mengambil sapu tangan dari kantong celananya. Dia membasahi kain tipis itu dengan air dingin yang ada di dalam botol minuman. Lalu bagian ujung kainnya disumbat ke lubang hidungku yang mimisan. "Untuk mempersempit pembuluh darah di hidungmu yang mungkin pecah karena benturan tadi."
"Hmm..." Aku bergumam. Lalu satu tangannya menahan tengkukku. Lalu aku meliriknya. "Hey... kepalamu juga berdarah," Pekikku menatapnya ngeri.
"Nggak apa-apa. Aku bisa tahan sakitnya."
"Maaf. Ini semua kesalahanku. Coba aku tadi nggak memaksa untuk pergi, pasti kita nggak akan mengalami kejadian buruk ini."
"Semua udah terjadi. Percuma juga kau menyesalinya."
"Kau bawa hp?"
"Mana sempat. Kau langsung menarikku pergi tadi."
Mungkin ini yang dinamakan hari kesialan. Kami lupa membawa ponsel. Dan sekarang kami tidak tahu harus meminta tolong pada siapapun.
"Lagipula percuma bawa hp. Mana ada sinyal di sini," Lanjut Aktar lagi.
"Eh iya juga ya." Aku mendesah frustasi.
"Kau udah merasa lebih baik? Kita harus segera keluar dari dalam mobil."
Aku mengangguk. Tanpa membuka pintu, aku sudah bisa keluar langsung karena pintu mobilnya sudah rusak. Dengan susah payah kami berjuang untuk bisa keluar dari dasar jurang. Beruntung jurangnya tidak terlalu dalam dan curam, sehingga kami bisa selamat dari kejadian mengerikan ini.
Ketika sudah sampai di atas, dalam keadaan gelap kami lanjut berjalan kaki. Hanya cahaya dari bulan satu-satunya yang dapat menerangi jalan.
Aku berhenti berjalan karena kelelahan. Entah sudah berapa kilometer yang kami lewati dari tadi. Seandainya jalan ini aspal, akan lebih mudah untukku. Tapi masalahnya jalan ini berbatu di mana kadang bertanjak dan kadang menurun. Ditambah aku sudah menggigil karena cuaca yang sangat dingin.
"Cepat sedikit kau jalan, jangan lamban kali kayak Mamak-Mamak!"
"Eh bodat! (Monyet). Aku capek jalan ini. Nggak kau tengok aku udah ngos-ngosan?" Balasku dengan bibir yang sudah bergemetar. Bahkan sanking dinginnya, ada asap yang keluar dari mulutku setiap kali berbicara.
"Kau benar-benar sangat merepotkan!" Serunya kesal dan berjalan mendekatiku. Lalu dia membungkukkan punggungnya padaku.
"Ngapain?" Tanyaku bingung.
"Cepat naik. Kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan datang lagi."
"Kau mau gendong aku?"
"Menurut kau kalau orang lagi bungkuk gini mau ngapain? Berak?" Tanyanya kesal. "Cepat naik atau kau mau aku tinggal di sini?"
"Iya-iya aku mau digendong," Kataku cepat menaiki punggung Aktar dan memeluk lehernya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.