Aku kembali ke hotel, dan di dalam kamar aku bisa menangis dengan bebas karena tidak akan ada seorang pun yang melihat air mataku menetes. Bahkan bunyi lembut tetes-tetes air hujan yang menerpa kaca jendela kamarku pun tak bisa menenangkan perasaanku yang galau.
Aku memilih untuk berbaring di ranjang dan menangis sampai air mataku mengering. Sekarang aku merasa lelah karena terus menangis. Kemudian kuhirup udara dalam tegukan-tegukan besar, hingga perlahan kedua mataku pun terpejam.
Di pagi harinya, aku terbangun karena sayup-sayup mendengar bunyi nada dari ponselku. Refleks tanganku bergerak menggapai meja kecil yang ada di samping ranjang, tempat aku meletakkan ponsel. Karena tak kunjung dapat, aku pun bangkit bangun. Namun di saat yang bersamaan, bunyi ponsel itu pun menghilang. Lalu tubuhku kembali terhempas ke tempat tidur.
Kepalaku terasa berdenyut ria, pusing sekali. Pelan-pelan aku meraba kening dan memijitnya. Keningku terasa hangat, begitu juga dengan leherku. Sepertinya aku sedang demam. Aku pun memilih untuk tidur, tapi tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Aku berusaha mengumpulkan energi untuk bisa bangkit dari tempat tidur. Setelah berhasil bangkit, aku segera meraih ponsel dan melihat nama Mama mertuaku yang muncul di layar ponsel. Ternyata beliau melakukan panggilan video untukku.
Kenapa beliau tiba-tiba menghubungiku? Apa mungkin Aktar memberitahukan kalau aku pergi ke Batam menemui mantan kekasihku?
Kalau aku tidak mengangkat telepon, pasti Mamanya Aktar akan tersinggung dan marah. Tapi kalau aku menjawabnya, apa yang harus aku jelaskan?
Aku bingung dan menggigit jari telunjukku. Namun aku tidak ingin menghindar, karena bagaimana pun ini adalah pilihanku. Jadi aku harus menghadapinya sendiri.
"Halo Ma," jawabku pelan. Aku tidak bisa berbicara lebih keras karena badanku benar-benar lemas.
"Halo sayang, apa kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat tidak semangat begitu?"
Aku mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa Ma. Mungkin efek baru bangun tidur."
"Ini sudah jam 11 siang dan kamu baru bangun? Apa Aktar tidak membangunkanmu pagi tadi sebelum dia bekerja? Setidaknya kamu harus sarapan."
Aku terdiam mendengar perkataan Mamanya Aktar. Sepertinya beliau tidak tahu kalau aku sedang tidak berada di rumah.
"Anak itu keterlaluan sekali, padahal Mama sudah menasehatinya untuk menjaga dan merawatmu dengan baik. Nanti Mama akan menelpon Aktar untuk memarahinya," lanjut beliau lagi.
"Jangan Ma. Ini bukan kesalahan Aktar. Tadi dia udah membangunkanku tapi aku yang enggak bangun karena masih mengantuk. Semalam aku begadang mengedit naskah sampai jam dua pagi."
Beliau menatapku dengan raut wajah kasihan. "Mama tidak melarangmu untuk menulis novel karena Mama tahu itu adalah hobi sekaligus pekerjaanmu. Tapi Mama juga tidak mau kalau sampai hobimu itu akan membawa dampak buruk untuk kesehatanmu karena kamu terlalu sering begadang."
"Iya Ma. Lain kali aku tidur lebih cepat. Ngomong-ngomong Mama kapan pulang ke Medan?"
"Mungkin tiga hari lagi."
Aku tersenyum menanggapi. Lalu aku baru sadar, kalau ternyata Mama mertuaku sedang berada di luar. Terlihat seperti sebuah pusat perbelajaan. "Mama lagi belanja ya?"
"Tadi Mama baru selesai ketemu teman bisnis. Kebetulan Mama ngelewatin store hermes di sini, jadi langsung kepikiran mau belikan tas buat kamu. Tapi Mama kurang tahu selera kamu yang seperti apa."
Aku menggelengkan kepala untuk menolak. "Nggak usah Ma. Aku nggak cocok pakai tas kayak gitu. Berasa mirip Tante-Tante girang."
Mama mertuaku melotot. "Secara tidak langsung kamu nyindir Mama juga Tante girang begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.
