Tiga puluh tiga

25.8K 2.5K 182
                                        

Memasuki ruang tengah, aku melihat  Mama yang sedang duduk di sofa sambil menatap foto pernikahanku yang terpajang di dinding. Mendengar adanya suara langkah kaki dari arah belakang, membuat beliau spontan menoleh kepada kami berdua. Hanya beberapa detik aku berani adu pandang dengan Mama, selanjutnya kepalaku sudah menunduk dan kedua mataku menatap lantai.

Jujur aku selalu takut setiap kali Mama marah-marah. Tapi aku sama sekali tidak menyesal dengan semua yang sudah terjadi kemarin. Justru aku merasa ini adalah keputusanku yang tepat.

"Mama udah lama nunggunya?" tanya Aktar membuka obrolan.

Mama tidak menjawab pertanyaan Aktar. Beliau hanya berjalan menghampiriku. Dan semuanya terjadi begitu cepat seperti kilatan petir, tangan Mama mendarat mulus di pipi kiriku.

Plak!

"Tadinya Mamak yang mau pergi ke Batam buat nyeret kau pulang tapi suamimu yang larang Mamak. Dari kemarin memang udah gatal kali tanganku mau nampar kau. Terlalu banyak tingkah. Nggak tahu rasa bersyukur. Orang itu kalo udah besar harusnya makin pintar, tapi kau lain sendiri Mamak lihat. Makin oon!" hujat Mama seraya menunjuk-nunjuk jarinya di keningku dengan kasar.

"Mama udah Ma. Jangan keras begitu ke Bimbi," ujar Aktar menahan Mamaku yang tampak emosi.

"Anak kayak dia gini memang harus dikerasin, nak Aktar. Kalo dilembutin makin ngelunjak! Sanggup kali dia pergi ke Batam buat nemui mantannya sampai berhari-hari. Nggak dipikirkannya dia udah punya suami, yang nungguin dia pulang ke rumah. Istri macam apa kayak gitu?"

"Ma... Ini bukan sepenuhnya kesalahan Bimbi. Aktar yang kasih izin buat dia pergi ke Batam."

Sementara aku masih terbengong dengan satu tangan memegang pipiku yang terkena tamparan Mama tadi.

"Iya kau kasih dia izin karena dia yang maksa mau pergi kan? Udahlah, nggak usah kau bela lagi. Percuma kau bela dia, dari raut wajahnya aja nggak ada rasa penyesalan sedikit pun. Kepalanya ini harus dibenturin dulu ke tembok, biar otaknya jalan dikit nggak beku kayak isi dalam freezer!"

Aku memanyunkan bibir ketika mendengar ucapan Mama barusan. Dan ternyata reaksiku malah membuat emosi Mama semakin menjadi-jadi. Beliau mencoba menggapai tubuhku, dan spontan aku bersembunyi ke belakang Aktar.

"Bibirmu pula yang kau mancungkan ke depan. Bukannya minta maaf, malah makin nantang kau Mamak lihat!"

"Mama tenang dulu..." Aktar berusaha menghalangi Mama dengan cara berdiri di tengah antara aku dan Mama. Badan Aktar yang tinggi, membuat Mama kesulitan untuk mendapatkanku. Namun tiba-tiba Aktar meringis kesakitan. "Haduh,,, sakit Ma."

Mendengar hal itu, Mama pun berhenti mengincarku. Akhirnya aku bisa menarik napas sebentar.

"Ada apa?" tanya Mama menatap menantunya.

"Sepatu Mama menginjak kakiku."

"Ya ampun... Mamak nggak sengaja. Maaf ya." Mama mengelus pelan bahu Aktar sebagai bentuk penyesalan.

Aktar hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian dia membungkukkan badan sebentar untuk melihat keadaan jari-jari kakinya. Dan di detik itu juga Mama langsung menerkamku dalam keadaan lengah. Dasar curang!

"Akhh sakit Ma..." Aku berteriak kesakitan kala tangan Mama menarik rambutku.

"Kau pikir bisa lolos dari Mamak?"

"Mending aku dipukul aja daripada rambutku dijambak kayak gini Mak. Sakit loh, jangan tarik kuat napa! Nanti aku botak kayak mana?"

"Biarin aja botak. Kau pikir, Mamak peduli?"

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang