Hari ini Niko membangunkanku pagi-pagi sekali. Dia bilang Aktar sudah datang dan sedang berdiri di depan rumahnya. Pria itu memilih untuk menunggu di luar daripada masuk ke dalam.
"Suruh dia pulang, aku bisa kok pulang sendiri. Jadi nggak perlu dijemput segala," tolakku pada Niko dan kembali tidur.
Niko membuka selimut dari atas tubuhku. "Jangan begitu, Arimbi. Temui dan bicaralah baik-baik, karena bagaimana pun dia masih suamimu."
Aku bangkit bangun dan menatap Niko kesal. "Kamu nggak suka lihat aku ada di sini?"
"Bukan begitu."
"Bukan apanya? Buktinya kamu kasih alamat rumahmu ke dia kan?"
Niko menatapku sejenak, lalu mengenggam kedua tanganku. "Kamu jangan langsung emosian dulu. Dengar ya, aku hanya ingin menghargai suamimu. Karena bagaimana pun, dia punya hak sepenuhnya atas dirimu. Jadi selesaikan dulu urusanmu dengan dia. Kamu paham maksud ucapanku kan?"
Aku meresponnya dengan satu anggukkan kepala. Kemudian dia tersenyum menatapku.
"Kamu cuci muka dulu sana. Ada beleknya itu," lanjut Niko lagi.
Spontan aku menghusap mata dengan kedua tangan. Kotoran mata siala! Mengganggu suasana pagi yang lagi khidmat.
"Mana beleknya?" Tanyaku sambil berdiri ke depan cermin lemari. Lalu tiba-tiba terdengar suara tawanya. Aku langsung melirik Niko. "Kamu ngerjain ya?"
Dia tersenyum manis. "Udah pergi sana. Suamimu menunggu dari tadi."
Aku menurut dan segera berjalan ke luar kamar. Sesampainya di depan rumah, mataku langsung tertuju pada sosok Aktar yang sedang berdiri membelakangi pintu. Seperti biasanya, dia selalu tampil trendi. Hari ini Aktar memakai kemeja warna abu-abu gelap, dipadukan dengan celana jeans hitam yang senada dengan warna sepatunya. Yang pasti semua yang dia pakai dari ujung kaki hingga kepala itu adalah bermerk. Aku tahu karena aku pernah iseng membongkar isi lemari pakaiannya. Jadi orang lain yang melihat sekilas penampilannya sudah pasti tahu, kalau pria itu berasal dari kelas atas.
"Ngapain kau datang ke sini?" ucapku ketus dengan posisi kedua tangan terlipat di dada.
Aktar berbalik ketika mendengar suaraku. Sorot matanya begitu tajam. Setajam pisau silet milik tukang cukur rambut.
"Begitu caramu menyambutku yang sudah jauh-jauh dari Medan ke sini? Benar-benar istri tidak tahu diri," balasnya lebih ketus.
"Yang nyuruh kau datang ke sini siapa? Kan aku nggak ada minta."
"Pria itu bilang kau tidak sadarkan diri. Jadi aku khawatir kau kenapa-napa."
Manatapku tak berkedip memandangnya. "Kau serius khawatir padaku?" tanyaku memastikan.
"Yaiyalah. Kalau terjadi sesuatu padamu, akulah orang yang bertanggung jawab pada kedua orang tuamu. Karena aku yang telah memberimu izin pergi. Jadi sekarang, bereskan pakaianmu, kita pulang hari ini ke Medan. Aku sudah memesan tiket pesawat untukmu."
Sudah kuduga jawabannya itu hanya karena orang tuaku. Mana mungkin dia benar-benar khawatir padaku. Sangat mustahil sekali. Mungkin lebih baik kami pisah saja. Percuma juga pernikahan ini diteruskan, sudah dua bulan menikah tapi tetap saja belum ada cinta di antara kami. Yang ada hanyalah pertengkaran tidak jelas setiap harinya.
"Aku masih mau di sini. Kau pulang aja duluan."
"Apalagi yang kau inginkan? Bukannya kau sudah puas bertemu dengan mantanmu itu? Berhentilah bersikap seperti anak kecil."
"Kau nggak bisa memaksaku untuk pulang!" Seruku marah karena ucapannya terdengar seperti menyudutkanku.
"Pulanglah Bii. Tidak masalah jika kau tak memandangku sebagai suamimu, tapi pulanglah demi Mamamu. Apa kau tega melihat Mamamu tidak selera makan, tidak tidur nyenyak karena memikirkanmu beberapa hari ini?"
"Mamaku pun tega memisahkan aku secara diam-diam dari pria yang kucintai. Aku sampai menangis berhari-hari di dalam kamar hingga kedua mataku bengkak karena patah hati diputuskan Niko."
"Mamamu pasti punya alasan khusus kenapa melakukan hal itu padamu." Dia membela Mama.
Aku mengangguk. "Ya kau benar," suaraku terdengar lemah. "Mamaku memang punya alasan khusus. Dan apa kau tahu jawabannya?" Aku sengaja memberi jeda beberapa saat. "Itu karena kau memiliki segalanya. Lihat dirimu Aktar, kau berasal dari keluarga yang mampu. Bahkan sangat mampu. Karirmu bagus, mobil banyak, rumah mewah dan bisnis keluargamu ada di mana-mana. Orang tua mana pun pasti akan senang dan berlomba untuk menikahkan putrinya denganmu. Sementara Niko gaya hidupnya sederhana, karena penghasilan yang dia dapat mungkin hanya seujung kukumu saja. Tapi meski begitu, aku tetap mencintainya."
"Aku sudah bilang kan, aku tidak akan masalah jika kau masih mencintai dia. Lalu apalagi?"
Aku menghembuskan napas panjang. Keputusanku ini sangat berat tapi aku sudah bertekad. "Aku... mau... mengajukan pembatalan pernikahan kita."
Dia terdiam sebentar, lalu kemudian bertanya. "Kenapa kau ingin batalkan pernikahan?"
"Kau tahu sendiri, dalam gereja Katolik permohonan cerai itu tidak akan dikabulkan. Meski kita udah bercerai secara sipil di pengadilan, tapi secara Katolik perceraian kita dianggap tidak sah. Kita masih akan terikat suami-istri, walau kita menikah lagi dengan orang lain. Karena hukum di agama kita menentang adanya perceraian. Maka dari itu, aku ingin melakukan pembatalan nikah. Sebab dalam Katolik ada hukum itu, jadi apabila kedua pihak telah membatalkan pernikahannya, itu diperbolehkan menikah lagi. Karena pernikahan yang sebelumnya akan dianggap tidak pernah terjadi, yang artinya aku tidak boleh menuntut harta atau apapun darimu. Aku hanya ingin mendampingi Niko dan memulai hidup baru dengannya."
Aktar menatapku tajam. "Pernikahan manusia itu dibangun di atas janji kepada Tuhan, dan bukan sekedar hitam di atas putih. Jadi menurutmu lebih tinggi mana, antara hukum Tuhan dengan hukum manusia?"
Kali ini aku terdiam karena tidak tahu harus membalas apa dari ucapannya itu. Aku seperti tentara di tengah medan perang yang sedang kehabisan amunisi.
Aku memalingkan wajah darinya. "Pokoknya aku mau membatalkan pernikahan kita," kataku keras kepala.
"Aku tidak mau."
Terpaksa aku menoleh lagi ke arahnya dan menatap dia dengan kesal. "Kenapa nggak mau? Memangnya kau cinta samaku makanya nggak mau lepasin?"
"Apa kau sangat menginginkan cinta dalam pernikahan kita?"
"Tentu. Aku ingin dicintai dan mencintai. Bagiku itu salah satu kunci dalam langgengnya suatu pernikahan. Jadi kau mau nggak, aku tetap akan membatalkan pernikahan kita. Lagipula kau udah pernah janji padaku, kalau seandainya kita udah mencoba menjalani pernikahan dan aku nggak merasa bahagia, kau akan melepaskanku."
Aktar masih menatapku serius "Kalau memang kebahagiaanmu adalah dia, maka aku akan mundur."
Aku cukup terkejut mendengar responnya yang seperti itu. Jantungku seperti tersengat listrik.
5-juli-2018
Gue sempatkan update hari ini karena selama 4 hari ke depan gue gabisa update, karena lagi liburan ke KL bareng Ria pohan.
Bye-bye... jangan kangen ya :p
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.
