Empat puluh empat.

23.4K 2.7K 292
                                    

Salah satu seorang penjaga hotel yang berdiri di depan pintu langsung menghampiri Cecil dan menanyainya. "Maaf, bisa Anda tunjukkan undangannya?"

Cecil bergeleng kepala dan tatapannya tetap fokus ke arah pelaminan. "Saya tidak punya."

"Maaf kalau begitu, Anda tidak boleh masuk ke dalam acara resepsi."

Terra maju ke depan. "Pak, tolong biarkan teman kami masuk. Dia orang baik kok, Bapak bisa tahan kami di sini sebagai jaminan."

Aku dan Intan serentak menganggukkan kepala. Namun pria berbadan kekar itu tetap menolak. "Tidak bisa."

Aku menepuk bahu Terra untuk mundur ke belakang, kali ini aku yang maju ke depan. "Kau tahu nggak siapa aku?"

Pria berbadan kekar itu memandangku dari ujung kaki hingga atas kepala. Lalu dengan polosnya dia bergeleng. "Tidak. Memangnya Anda siapa?"

Seketika aku melotot padanya. "Kau mau ngajak aku begado (berantem) rupanya ya! Masa kau nggak kenal siapa aku? Aku ini penulis terkenal!" seruku lantang sambil menepuk dada dengan bangga.

"Maaf tapi saya tidak tahu."

Intan mencolek lenganku dan berbisik ke telingaku. "Mungkin namamu sebagai penulis belum seterkenal Ika Natasha, Dee Lestari, Esti Kinasih atau Tere Liye. Coba kau perkenalkan dirimu sebagai menantu Wiraatmaja, kali aja dia goyah dengar nama itu."

Aku mengangguk. Lalu aku mendongak menatap pria itu lagi. "Kau tahu nggak siapa aku?!"

"Kenapa ditanya lagi? Tadi kan saya sudah menjawabnya. Saya tidak tahu siapa Anda," ujar penjaga itu dengan nada jengkel.

"Kau tahu keluarga Wiraatmaja?" tanyaku padanya.

"Jelas saya tahu. Terus Anda siapanya?"

"Aku menantu satu-satunya di keluarga Wiraatmaja. Dan hotel yang sekarang lagi kau pijak ini adalah milik mertuaku. Kau dengar itu!"

"Nyonya Arimbi?"

Aku menoleh saat mendengar suara yang menyerukan namaku. Seorang pria dengan berpakaian jas rapi menghampiriku. "Kau siapa?" tanyaku.

"Saya Erwin, bagian marketing di hotel ini. Nyonya Arimbi ada apa ya? Kenapa ribut dengan bagian keamanan di pesta ini?"

"Gimana aku nggak ribut, masa temanku mau masuk ke dalam pesta dilarang? Udah gitu dia nggak kenal lagi siapa aku. Bikin emosi aja!"

"Kami meminta maaf sekali atas respon tim saya yang kurang berkenan. Mohon dimaafkan," ujarnya dengan sopan.

"Mereka tidak membawa undangan pak Erwin. Itu sebebnya saya melarangnya masuk," ucap pria berbadan kekar kepada bagian marketing tadi. Lalu dia menundukkan kepala kepadaku. "Sebelumnya saya minta maaf. Tapi saya hanya menjalankan perintah dari atasan. Yang boleh masuk ke dalam hanya orang yang membawa undangan."

"Jadi gimana ini kepastiannya? Boleh masuk atau enggak sih?" tanyaku kesal.

"Kenapa Nyonya Arimbi tidak membawa kartu undangan sebelumnya?"

Intan yang sudah tidak sabar lagi langsung meluapkan emosinya dengan menarik kerah jas pegawai hotel itu. "GIMANA KAMI BISA DAPAT KARTU UNDANGAN, ORANG TEMAN SAYA DITINGGAL NIKAH DIAM-DIAM GITU! MEMPELAI PRIA YANG ADA DI DALAM SANA ITU UDAH PHP'IN TEMAN SAYA!! JADI KALAU ANDA MASALAHIN UNDANGAN SEKALI LAGI, ANDA YANG BAKAL KAMI LEMPAR DARI LANTAI 10 INI!!"

Suara keributan kami mungkin terdengar di telinga Endo, hingga pria itu kini tengah melihat ke arah depan pintu. Dia yang tadinya duduk spontan berdiri, ketika menyadari ada sosok Cecil yang sedang menatapnya dari kejauhan.

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang